Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tax ratio tercatat sebesar 10,38% pada 2022, turun menjadi 10,31% pada 2023.
Tren ini berlanjut pada 2024 dengan penurunan ke 10,08%, dan outlook 2025 diperkirakan hanya 10,03%.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, memperkirakan penurunan ini akan berlanjut pada 2025, termasuk realisasi penerimaan pajak yang kemungkinan lebih rendah dari target.
Baca Juga: Ini Jurus Dirjen Pajak Baru untuk Tingkatkan Tax Ratio Indonesia pada 2025
Ia menjelaskan bahwa penurunan tax ratio erat kaitannya dengan perlambatan ekonomi.
"Jika pertumbuhan ekonomi lebih rendah dibanding tahun lalu, maka tax buoyancy ikut turun, yang pada akhirnya menurunkan tax ratio," ujar Fajry, Minggu (7/6).
Ia menambahkan bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia telah direvisi dari 5,1% menjadi 4,7%, yang turut menjelaskan lemahnya tax ratio.
Untuk meningkatkan rasio perpajakan, Fajry mendorong pemerintah agar memperluas basis pajak (ekstensifikasi) dan memanfaatkan data pihak ketiga yang andal.
Ia juga menyinggung janji politik Presiden Prabowo Subianto untuk menggali potensi pajak dari sektor informal.
Baca Juga: Tax Ratio Indonesia Kuartal I-2025 Merosot ke Level 7,95%
Fajry menambahkan bahwa beberapa instrumen dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) masih belum dimanfaatkan optimal.
Reformasi regulasi dan kebijakan perlu dilakukan dalam jangka menengah, sementara dalam jangka panjang, perlu ada perbaikan struktur basis pajak.
"Kita bisa memiliki tax ratio yang tinggi jika pendapatan masyarakat juga tinggi. Tidak heran negara dengan tax ratio tinggi umumnya memiliki pendapatan per kapita yang tinggi," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa peningkatan tax ratio tidak cukup hanya mengandalkan pembenahan sistem administrasi pajak seperti Coretax.
Menurutnya, pemerintah juga perlu memperkuat kepatuhan wajib pajak di luar sistem tersebut.
Baca Juga: Ekonomi Lesu, Reformasi Pajak Tak Cukup Angkat Tax Ratio Indonesia
Bhima mencontohkan, kepatuhan ekspor-impor bisa ditingkatkan dengan mencocokkan data bea cukai dengan data negara mitra dagang, baik dari sisi volume maupun nilai transaksi.
Ia juga mengusulkan penerapan pajak kekayaan sebesar 2% dari total aset yang dimiliki oleh individu dengan kekayaan tinggi. Bila diterapkan kepada 50 orang terkaya, potensi penerimaan bisa mencapai Rp 81,6 triliun.
Bhima juga menyarankan agar pemerintah fokus meningkatkan kepatuhan pajak di sektor sumber daya alam (SDA) untuk mendongkrak tax ratio tahun 2025.
Secara historis, tax ratio Indonesia terus berfluktuasi. Pada 2018, tercatat sebesar 10,24%, turun menjadi 9,76% pada 2019 dan 8,33% pada 2020. Setelah mengalami pemulihan pada 2021 (9,11%), rasio ini naik ke 10,38% pada 2022.
Baca Juga: Tax Ratio Indonesia 2024 Anjlok ke Level 10,08%
Namun, dibanding negara lain di kawasan, posisi Indonesia masih tertinggal. Pada 2022, tax ratio Indonesia hanya lebih tinggi dari Laos (9,46%), Myanmar (5,78%), dan Brunei (1,30%). Sementara Thailand mencatat 17,18%, Vietnam 16,21%, dan Singapura 12,96%.
Melihat tren ini, sulit bagi Indonesia untuk keluar dari kisaran 10%. Bahkan Bank Dunia memproyeksikan bahwa tax ratio Indonesia akan stagnan di level tersebut setidaknya hingga 2027.
Selanjutnya: Nilai Transaksi Manajemen Kas Bank Panin Tembus Rp 96,2 Triliun hingga Juni 2025
Menarik Dibaca: Strategi Mengatur Anggaran Olahraga Remaja agar Tetap Hemat & Efektif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News