Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA Pemerintah menghadapi tantangan yang kian kompeks dalam upaya menggenjot rasio pajak alias tax ratio di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi dan meningkatnya tekanan global.
Seperti yang diketahui, Dana Moneter Internasional (IMF) telah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,7% dari sebelumnya sebesar 5,1%.
Meski berbagai reformasi perpajakan telah dijalankan, termasuk digitalisasi sistem dan perluasan basis pajak, hasilnya belum signifikan.
Ketidakpastian ekonomi global, penurunan harga komoditas, serta melemahnya daya beli masyarakat membuat ruang fiskal kian terbatas dan target penerimaan negara akan sulit tercapai.
Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% pada tahun 2025 berpotensi menggerus pendapatan negara secara signifikan.
Pasalnya, dalam Anggaran Pendapatan Negara dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2%.
Berdasarkan Tabel Sensitivitas APBN 2025 terhadap Asumsi Dasar Ekonomi Makro yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, setiap penurunan 0,1% dalam pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan penurunan pendapatan negara sebesar Rp 2,1 triliun.
Baca Juga: Gubernur BI: Investor Asing Masih Optimistis dengan Prospek Ekonomi Indonesia
Dengan revisi IMF sebesar 0,3% di bawah target, maka potensi penurunan pendapatan negara mencapai Rp 6,3 triliun pada tahun ini.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa perlambatan ekonomi akan berdampak langsung terhadap kinerja perpajakan nasional dan menyulitkan pemerintah untuk mengejar target penerimaan pada tahun 2025.
"Dan secara historis, kalau pertumbuhan ekonomi kita lebih rendah dibandingkan tahun lalu maka penerimaan pajaknya akan turun lebih dalam, alhasil tax ratio juga akan menurun," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (24/4).
Fajry menambahkan bahwa kinerja penerimaan pajak Indonesia masih sangat pro-cyclical, mengikuti siklus ekonomi. Dalam situasi seperti ini, pemerintah berada dalam posisi fiskal yang sulit, sebab kebutuhan belanja justru akan meningkat untuk menjaga momentum pertumbuhan.
“Ini terjadi di berbagai negara, alhasil tingkat utang di banyak negara diperkirakan akan meningkat," katanya.
Fajry menekankan bahwa pemerintah perlu menjaga keuangan negara tetap sehat dan dikelola secara hati-hati.
Menurutnya, selain efisiensi belanja, pemerintah juga perlu mendorong reformasi struktural dan deregulasi sebagai bentuk sokongan terhadap ekonomi.
Ia menilai beberapa poin dalam laporan USTR (United States Trade Representative) sudah sejalan dengan langkah yang harus diambil.
“Kita berharap akan ada hasil positif dari negosiasi tarif antara Indonesia dan AS sehingga kita punya akses pasar ke sana, dengan posisi Indonesia akan lebih baik dibanding negara tetangga, yang pada akhirnya akan membantu ekonomi Indonesia," terang Fajry.
Sementara itu, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai bahwa pemerintah dalam hal ini Otoritas Pajak perlu memiliki upaya ekstra dalam mengejar target penerimaan pajak di tengah situasi saat ini.
"Direktorat Jenderal Pajak harus bekerja keras untuk menutupi kekurangan penerimaan pajak," kata Raden.
Salah satu strategi yang bisa ditempuh, lanjut Raden, adalah dengan meningkatkan jumlah pemeriksaan dan memperbaiki tata cara pemeriksaan agar lebih efektif.
Fokus dapat diarahkan pada perusahaan-perusahaan dalam satu grup usaha karena pemiliknya dinilai memiliki kemampuan bayar tinggi.
“Pemeriksaan perusahaan grup harus digencarkan. Biasanya pemilik perusahaan grup memiliki kemampuan bayar tinggi, sehingga diharapkan hasil pemeriksaan segera dibayar tahun 2025," katanya.
Selain itu, Ditjen Pajak didorong untuk memanfaatkan data dari sistem Coretax yang sudah mulai terkoneksi dan terintegrasi. Dengan pendekatan compliance risk management (CRM), pengawasan terhadap kepatuhan pajak bisa dilakukan lebih tajam dibanding era sebelumnya.
Namun demikian, Raden mengingatkan bahwa kontribusi hasil pemeriksaan terhadap total penerimaan pajak selama ini cenderung kecil, hanya sekitar 2% hingga 3%.
Oleh karena itu, ia menilai opsi seperti program pengampunan pajak alias Tax Amnesty Jilid III bisa kembali dipertimbangkan.
"Hasil program Pengampunan Pajak biasanya lebih besar karena peserta yang ikut Pengampunan Pajak lebih banyak. Upaya yang dilakukan petugas pajak relatif minimal dibandingkan dengan pemeriksaan pajak, tetapi hasilnya lebih besar," imbuh Raden.
Sebagai informasi, tax ratio Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar 10,08% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka ini diperoleh dari total penerimaan perpajakan yang mencapai Rp 2.232,7 triliun dibandingkan dengan PDB nominal yang sebesar Rp 22.139 triliun.
Sayangnya, angka tax ratio pada 2024 ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 10,31% PDB.
Berdasarkan catatan KONTAN, dalam beberapa tahun terakhir, tax ratio Indonesia masih mengalami fluktuatif. Pada tahun 2018, tax ratio Indonesia berada pada angka 10,24%. Angka ini kembali merosot pada tahun 2019 sebesar 9,76% dan 2020 menjadi 8,33%.
Seiring dengan pelonggaran aktivitas masyarakat, tax ratio pada tahun 2021 mulai mengalami peningkatan menjadi 9,11%. Dan pada tahun 2022, tax ratio kembali naik menjadi 10,38%.
Di tahun 2022, posisi tax ratio Indonesia ini hanya lebih baik dari Laos (9,46%), Myanmar (5,78%) dan Brunei (1,30%) serta jauh di bawah Thailand (17,18%), Vietnam (16,21%) dan Singapura (12,96%).
Berkaca dari data tersebut, tampaknya rasio pajak Indonesia akan sulit beranjak dari level 10%.
Bahkan Bank Dunia alias World Bank memperkirakan tax ratio Indonesia sulit beranjak dari level tersebut hingga 2027 mendatang.
Baca Juga: Saham Perbankan Masih Terparkir di Zona Merah, Simak Rekomendasi Analis
Selanjutnya: Mulia Boga (KEJU) Bagikan Dividen Tunai Rp 73,12 Miliar, Cek Jadwal Lengkapnya
Menarik Dibaca: Katalog Promo JSM Alfamidi Hanya 4 Hari Periode 24-27 April 2025, Cek di Sini!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News