kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.313   10,00   0,06%
  • IDX 7.192   51,54   0,72%
  • KOMPAS100 1.027   0,61   0,06%
  • LQ45 779   -0,14   -0,02%
  • ISSI 237   2,91   1,24%
  • IDX30 402   -0,27   -0,07%
  • IDXHIDIV20 464   1,04   0,22%
  • IDX80 116   0,22   0,19%
  • IDXV30 118   1,12   0,95%
  • IDXQ30 128   -0,16   -0,12%

Kesepakatan Dagang RI-AS Berpotensi Bebani Neraca Dagang dan Pertumbuhan Ekonomi


Rabu, 16 Juli 2025 / 11:15 WIB
Kesepakatan Dagang RI-AS Berpotensi Bebani Neraca Dagang dan Pertumbuhan Ekonomi
ILUSTRASI. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/09/07/2025. Kalangan ekonom mengkritik isi dan dampak dari kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS).


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID–JAKARTA. Kalangan ekonom mengkritik isi dan dampak dari kesepakatan dagang terbaru antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) tahun 2025 yang mana akhirnya Trump mengenakan tarif 19% ke Indonesia, yang dinilai bisa menimbulkan ancaman perekonomian dalam negeri.

Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai, perjanjian dagang tersebut bukan hanya menciptakan ketimpangan dalam perdagangan bilateral, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap stabilitas ekonomi makro nasional.

Syafruddin membandingkan kesepakatan tersebut dengan Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA), yang menurutnya jauh lebih menguntungkan Indonesia dalam jangka panjang karena mendorong perbaikan kualitas produk, akses pasar yang adil, dan membentuk kemitraan yang setara.

Baca Juga: AS Kenakan Tarif 19% kepada Indonesia, Kesepakatan Dagang Ancam Industri Lokal

Sebaliknya, kesepakatan dengan AS dinilai sebagai bentuk tekanan dagang yang memaksa Indonesia membuka pasarnya secara luas, sekaligus melakukan pembelian besar-besaran atas produk dan komoditas AS, tanpa imbal balik setara dari sisi tarif atau akses pasar.

Risiko Neraca Dagang dan Pelemahan Ekonomi Eksternal

“AS mendapat akses penuh ke pasar Indonesia tanpa hambatan tarif, tapi ekspor Indonesia ke AS masih dikenai tarif hingga 19 persen,” ujar Syafruddin dikutip Rabu (16/7).

Menurutnya, kondisi ini berpotensi menyebabkan ketimpangan serius dalam neraca perdagangan bilateral. Indonesia bisa mengalami fenomena “neraca dua lapis”, dimana mencatat surplus dalam perdagangan global, tetapi justru defisit dalam perdagangan dengan AS.

"Ini bukan sekadar soal angka. Ketika ekspor kita tertahan dan impor dari AS melonjak tajam, itu menunjukkan lemahnya posisi tawar Indonesia sebagai mitra dagang. Kita lebih terlihat sebagai pasar konsumtif pasif, bukan mitra yang setara dan berdaulat," jelasnya.

Secara makroekonomi, Syafruddin menyoroti risiko terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam formula Produk Domestik Bruto (PDB) (Y = C + I + G + X – M), jika ekspor (X) stagnan karena dikenai tarif tinggi, dan impor (M) meningkat tajam akibat akses bebas tarif dan kewajiban pembelian, maka kontribusi sektor eksternal akan negatif terhadap pertumbuhan.

"Skema seperti ini bisa menekan industri dalam negeri, terutama sektor yang belum kompetitif. Dalam jangka menengah, bisa muncul gejala deindustrialisasi dini, PHK, dan penurunan produksi," paparnya.

Sektor pertanian dan pangan disebut sebagai sektor paling rentan, karena harus bersaing langsung dengan produk impor seperti kedelai, jagung, dan daging dari AS yang masuk tanpa tarif dan dalam volume besar.

Risiko Fiskal dan Dampak Terhadap Stabilitas Makro

Selain pembukaan pasar, Syafruddin menyoroti beban tambahan dari komitmen pembelian produk-produk AS dalam jumlah besar, termasuk Pembelian energi sebesar US$15 miliar, impor produk pertanian sebesar US$4,5 miliar, dan pembelian 50 pesawat Boeing

"Apakah pembelian pesawat Boeing benar-benar strategi modernisasi, atau justru akan membebani APBN dan BUMN penerbangan kita yang sedang berjuang pulih?" tanyanya.

Menurutnya, skema ini lebih mirip paket pembelian sepihak ketimbang kerja sama dagang yang adil.

Selain itu, ketidakseimbangan perdagangan ini dikhawatirkan akan memicu tekanan terhadap nilai tukar rupiah, meningkatkan impor berbasis inflasi, dan menciptakan volatilitas harga pangan. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah akan terpaksa menggelontorkan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial dan menjaga daya beli masyarakat.

"Kebijakan fiskal dan moneter akan berada dalam posisi sulit. Ruang manuver jadi terbatas, padahal stabilitas makro adalah fondasi utama untuk pemulihan ekonomi yang berkelanjutan," tegasnya.

Syafruddin mengingatkan bahwa Indonesia harus cermat dalam menyusun strategi dagangnya, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan ekonomi besar seperti AS.

“Kesepakatan dagang yang timpang bukan hanya merugikan industri dan perdagangan, tapi juga bisa menggerus stabilitas ekonomi makro dalam jangka menengah. Indonesia tidak boleh hanya jadi pasar. Kita harus menjadi mitra dagang yang sejajar,” pungkasnya.

Baca Juga: Trump Turunkan Tarif Ke 19%, Ekonom: Saatnya BI-Rate Turun 25 bps Juli Ini

Selanjutnya: Promo Alfamart Paling Murah Sejagat 16-23 Juli 2025, Indomie Jumbo Beli 3 Lebih Murah

Menarik Dibaca: Promo Alfamart Paling Murah Sejagat 16-23 Juli 2025, Indomie Jumbo Beli 3 Lebih Murah

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×