Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis 26 poin pelemahan anti rasuah tersebut dalam Undang-Undang (UU) KPK yang baru. Dalam UU tersebut, kewenangan KPK dipangkas habis dalam menindak para pelaku korupsi. Sejumlah pasal juga kontradiktif dan tidak jelas.
Sementara, kewenangan KPK dalam pencegahan yang didegung-degungkan justru tak tampak dalam UU KPK yang baru. Malah kewenangan Dewan Pengawasan, lebih besar daripada pimpinan KPK.
Baca Juga: MK gelar sidang uji materi UU KPK pada Senin hari ini
Sementara syarat menjadi Dewan Pengawas jauh lebih mudah dibandingkan pimpinan KPK. Anehnya lagi, Dewan Pengawas bisa bertemu dengan tersangka atau pihak terkait, tanpa dibatasi dan mereka bisa merangkap jabatan.
Kondisi ini memang memprihatinkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi status Aparat Sipil Negara (ASN) yang disematkan kepada pegawai KPK memungkinkan mereka berada dalam pengawasan penyidik polri bagi penyidik KPK dan penyidik bisa dipindah sewaktu-waktu meskipun tengah menangani perkara.
Untuk lebih lengkap simak ke-26 yang dirilis KPK lewat media sosial @KPK_RI.
1. Pelemahan Independensi KPK. KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Rumusan UU hanya mengambil sebagian dari Putusan MK, namun tidak terbaca posisi KPK sebagai badan lain yang terkait kekuasaan kehakiman dan lembaga yang bersifat constitutional important.
Pegawai KPK merupakan ASN, sehingga ada risiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.
Baca Juga: Info penting: Jalan Gatot Subroto menuju DPR ditutup pakai separator dan kawat duri
2. Bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggungjawab tertinggi dihapus.
3. Dewan Pengawas memiliki kewenangan lebih besar daripada pimpinan KPK, namun syarat menjadi pimpinan KPK lebih berat dibandingkan Dewan Pengawas.
Baca Juga: Nama-nama populer yang tersingkir dari Gedung DPR
4. Kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara, yaitu: memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. Kemudian siapa yang mengawasi Dewan Pengawas?
5. Standar larangan etik dan anti konflik kepentingan lebih rendah dibandingkan pimpinan dan pegawai KPK. Dewan Pengawas boleh menjabat profesi lain serta tidak dilarang bertemu dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara yang ditangani KPK.
6. Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
7. Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
pic.twitter.com/NNQq7eaiuC — KPK (@KPK_RI) September 30, 2019
8. Salah satu pimpinan KPK terpilih pasca UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun).
9. Pemangkasan kewenangan penyelidikan. Penyidik tidak lagi dapat mengajukan larangan terhadap seseorang ke luar negeri. Hal ini berisiko untuk kejahatan korupsi lintas negara.
Baca Juga: Mundurnya Yasonna berdampak pada Perppu KPK? Ini jawaban Istana
10. Pemangkasan kewenangan penyadapan, karena tidak lagi dapat dilakukan di tahap penuntutan serta menjadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi. Terdapat risiko lebih besar adanya kebocoran perkara dan lamanya waktu pengajuan penyadapan, sementara dalam penanganan kasus korupsi dibutuhkan kecepatan dan ketepatan, terutama dalam kegiatan OTT.
11. OTT menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
12. Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi. Membenarkan asumsi bahwa KPK harus mencegah jika dalam proses penyelidikan terdeteksi akan adanya transaksi sehubungan tindak pidana korupsi.
https://t.co/8IFVX9uEkg pic.twitter.com/n0UltQZAcp — KPK (@KPK_RI) September 30, 2019
13. Risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas. Terdapat ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara, namun tidak jelas indikator terkait dan tidak terkait , ruang lingkup perkara danj uga siapa pihak yang menentukan ketidakterkaitan tersebut.
14. Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. Di satu sisi UU meletakkan KPK sebagai lembaga yang melakukan koordinasi dan supervisi terhadap Polri dan Kejaksaan dalam menangani kasus korupsi.
Namun di sisi lain, jika pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Polri.
Baca Juga: Presiden pertimbangkan Perppu KPK, Yasonna: Berjalanlah di jalur konstitusi
15. Berkurangnya kewenangan penuntutan. Pada pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan penuntutan. Hanya disebut "dalam melaksanakan tugas penyidikan", padahal sejumlah kewenangan terkait dengan perbuatan terhadap terdakwa (ranah penuntutan).
16. Dalam pelaksanaan penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
17. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status Aparatur Sipil Negara.
18. Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
Baca Juga: Trending topics: Penangkapan Jumat Keramat, mahasiswa ogah diundang ke Istana
19. Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Dibandingkan dengan penegak hukum lain yang mengacu pada KUHAP, tidak terdapat batasan waktu untuk SP3.
20. Pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa.
21. Terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.
22. Hilangnya posisi panasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan.
23. Hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.
Baca Juga: Mahasiswa: Kami tak ingin diundang ke Istana, kabulkan saja tuntutan kami
24. KPK hanya berkedudukan di ibukota negara, KPK tidak lagi memiliki kesempatan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah.
25. Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan. Tidak diaturnya sanksi tegas terhadap kewajiban lapor yang tidak melaporkan LHKPN serta tidak adanya kewajiban menindaklanjuti rekomendasi KPK terkait pencegahan.
26. Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi. Hilangnya pasal yang mengatur kewenangan KPK untuk melakukan pengawasan, penelitian, atau penelahaan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenang melakukan pelayanan publik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News