kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.924.000   -21.000   -1,08%
  • USD/IDR 16.319   9,00   0,06%
  • IDX 7.792   185,77   2,44%
  • KOMPAS100 1.105   23,32   2,16%
  • LQ45 823   23,67   2,96%
  • ISSI 258   4,00   1,58%
  • IDX30 426   12,56   3,04%
  • IDXHIDIV20 488   14,77   3,12%
  • IDX80 123   2,78   2,31%
  • IDXV30 127   1,15   0,91%
  • IDXQ30 137   4,21   3,18%

Dari 50 Orang Terkaya Indonesia, Negara Bisa Raup Rp 81,56 Triliun Tiap Tahun


Selasa, 12 Agustus 2025 / 15:34 WIB
Dari 50 Orang Terkaya Indonesia, Negara Bisa Raup Rp 81,56 Triliun Tiap Tahun
ILUSTRASI. Penerimaan pajak negara meningkat dari tahun ke tahun. Pertumbuhan penerimaan pajak melambat di tahun 2024 menjadi hanya 3,46%. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak tahun 2025 bisa tumbuh 13,27%.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan penerapan pajak kekayaan sebagai langkah progresif untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus memperkuat keadilan sosial.

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menjelaskan, dari studi yang dilakukan, jika pajak kekayaan dikenakan hanya pada 50 orang terkaya di Indonesia dengan tarif 2% dari total kekayaan mereka, potensi penerimaan negara mencapai Rp 81,56 triliun setiap tahun.

Menurut perhitungan Celios, 50 orang terkaya tersebut memiliki kekayaan terendah sebesar Rp 15 triliun, dengan rata-rata kekayaan mencapai Rp 159 triliun. 

"Dengan hanya memajaki 50 orang saja, itu sudah mencapai jumlahnya sekitar 81 triliun. Dan kalau kita lihat, saya tidak ingat data terakhir, itu ada sekitar 22 ribu orang super kaya di Indonesia. Potensi ini jauh lebih besar dari yang kami estimasi saat ini," ujar Media Wahyudi dalam acara Diskusi Publik di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

Baca Juga: Penerimaan Negara Seret, Sri Mulyani Buru Pajak dari Platform Online

Dalam laporannya, Celios mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia belum menerapkan pajak kekayaan secara progresif. Pajak atas aset kekayaan memang secara terbatas telah diterapkapkan melalui pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak atas barang mewah (PPnBM), dan PPh final atas deviden. 

Namun, serangkaian pajak eksisting tersebut belum efektif menyasar keseluruhan aset bersih yang dimiliki individu. Administrasi perpajakan masih memiliki keterbatasan kapasitas dalam mengoptimalkan analisis forensik dan audit aktual untuk mengungkap kekayaan yang sebenarnya. 

Baca Juga: Penerimaan Pajak Semester I-2025 Diproyeksi Masih Tertekan

Selain itu, lemahnya dorongan untuk mengadopsi pajak kekayaan juga ditengarai oleh besarnya resistansi dari elit ekonomi yang menjadi aktor kunci stabilitas pasar dan investasi. 

"Pada titik ini, otoritas belum mampu menangani masalah klasik penyembunyian kekayaan secara ilegal akibat rendahnya deteksi risiko dan lemahnya penegakan hukum," tulis Celios dalam laporannya.

Baca Juga: Sri Mulyani Dorong Integrasi Data untuk Optimalkan Penerimaan Negara

Selanjutnya: Zyrexindo Mandiri Buana (ZYRX) Lakukan Ekspor Perdana ke AS pada Agustus 2025

Menarik Dibaca: 5 Alasan Pria Harus Pakai Sunscreen, Bukan Hanya untuk Wanita

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×