kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Catatan ekonom Indef soal pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 yang masih minus


Jumat, 05 Februari 2021 / 12:26 WIB
Catatan ekonom Indef soal pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 yang masih minus
ILUSTRASI. Pertumbuhan ekonomi di kuartal IV tahun lalu belum mampu melepaskan diri Indonesia dari kubangan resesi. Sebab, pada kuartal II dan III tahun 2020, pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami minus. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) akhirnya merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal IV tahun 2020, Jumat (5/2). BPS mengumumkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV 2020 minus 2,19% secara year on year (yoy). Yang sedikit melegakan, pertumbuhan ekonomi di kuartal IV 2020, membaik dibandingkan kuartal III 2020 yang minus 3,45%. 

Tapi, hal menarik dari pertumbuhan ekonomi di kuartal ke IV 2020 adalah penurunan dibanding kuartal ke III 2020 atau secara quarter to quarter (antar kuartal). Kuartal ke IV 2020 pertumbuhan q to q turun -0,42% dibanding kuartal ke III 2020 yang sebelumnya naik 5,05%. 

Hal itu membuktikan pola pemulihan ekonomi kembali turun pada kuartal ke IV jika dibanding kuartal ke III. Alhasil, pertumbuhan ekonomi di kuartal IV tahun lalu belum mampu melepaskan diri Indonesia dari kubangan resesi. Sebab, pada kuartal II dan III tahun 2020, pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami minus. 

Sejumlah ekonom menyebutkan, minusnya pertumbuhan ekonomi di kuartal IV tahun 2020 menunjukkan beberapa hal. Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom Indef berpendapat, pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke IV yang -2,19% (yoy) atau -2,07% full year 2020 menunjukkan dua hal. 

Pertama, kegagalan pemerintah dalam mengendalikan pandemi, sehingga masyarakat masih menahan untuk berbelanja. Kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83% dari total konsumsi nasional. Selain itu, menurut Bhima, kebijakan new normal yang dipaksakan pemerintah terbukti blunder. 

Di satu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan, tapi kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tetap jalan terus. Dengan adanya PSBB, operasional berbagai jenis usaha dibatasi. 

Bhima menilai, langkah pemerintah tersebut telah menjadi kebijakan yang abnormal. "Kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun. Ada vaksin, ada new normal, tapi kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (5/2).  

Dia menambahkan, selama masa pandemi, sektor pertanian masih mengalami kenaikan pertumbuhan, yakni sebesar 2,59% di kuartal ke IV 2020. Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian sangat kurang. Bantuan subsidi pertanian yang belum merata, keterlambatan penyaluran pupuk subsidi, dan program regenerasi petani tidak berjalan optimal. 

Sektor pertanian yang harusnya jadi tulang punggung serapan tenaga kerja karena banyaknya migrasi pengangguran perkotaan ke desa selama pandemi banyak terserap ke sektor pertanian. Selain itu, kontraksi industri pengolahan masih cukup besar yakni -3,14% (yoy) di kuartal ke IV 2020. 

Industri manufaktur juga menjadi penyumbang kontraksi terdalam pada kuartal IV yakni -0,65%. Padahal, ada peluang penetrasi ekspor ke pasar-pasar yang alami pemulihan cepat salah satunya China. Tapi, yang terjadi adalah industri manufaktur kehilangan momentum.

Pesimisme program vaksinasi

Sebab, Vietnam mampu tampil lebih baik dalam menarik relokasi pabrik dibanding Indonesia. Selain itu, pasar di dalam negeri dibombardir oleh barang-barang impor, baik bahan baku maupun barang konsumsi sehingga peran industri domestik semakin dianak tirikan. 

Kehadiran e-commerce, sayangnya lebih banyak untungkan produk impor dengan harga yang murah bahkan diberi ongkos kirim yang nyaris gratis. "Barang impor makin mudah sampai ke end customer, secara door to door tanpa adanya regulasi yang tepat mengatur arus barang impor via e-commerce dari pemerintah," imbuh Bhima. 

Betul, pemerintah telah menggelar program vaksinasi Covid-19, yang mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir tahun 2020. Hanya saja, masih timbul pesimisme di masyarakat terhadap jenis vaksin yang digunakan. Selain itu, ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar. 

Bukan cuma itu. Kembali diberlakukannya PPKM jilid I, telah menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam. "Jadi optimisme pemulihan ekonomi nasional yang lebih cepat, pada akhirnya dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," papar Bhima.

Kedua, stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terbukti kurang efektif. Alasannya, kata Bhima, ada perencanaan yang salah di awal pembentukan PEN. Masalah utama, kurangnya suport pada sisi demand policy, yakni perlindungan sosial (Rp 220,3 triliun) dan realisasi belanja kesehatan (Rp 63,5 triliun) masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain.

Bhima mencontohkan pembiayaan untuk korporasi sebesar Rp 60,7 triliun, insentif usaha (Rp 56,1 triliun), sektoral K/L dan Pemda (Rp 66,5 triliun) dan insentif usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang hanya mendapatkan gelontoran stimulus sebesar Rp 112 triliun. 

Jika pertumbuhan ekonomi yang negatif dibiarkan hingga kuartal I-2021, lanjut dia, maka Indonesia akan rentan masuk dalam teritori depresi ekonomi. Definisi depresi ekonomi adalah resesi ekonomi yang berkelanjutan satu tahun atau lebih. Biaya pemulihan ekonomi relatif mahal jika depresi terjadi. Pola pemulihan menjadi U-shape atau bahkan L-shape jika kebijakan ekonomi kurang responsif. 

Nah, untuk kembali menggalakkan pertumbuhan ekonomi, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah. Salah satunya kuncinya, adalah penanganan pandemi Covid-19 yang tepat sasaran. Hal ini yang sebelumnya tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah. 

Idealnya, menurut Bhima, pemerintah mendorong sisi permintaan (demand side policy) dibanding fokus pada sisi penawaran (supply side policy). Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha. Masalah utama ada di sisi lemahnya demand. 

Penyerapan anggaran pemerintah yang masih mengikuti pola sebelum pandemi atau waktu normal perlu segera diubah. Sebaiknya pada awal tahun 2021 pemerintah pusat dan pemda segera lakukan pengadaan barang dan jasa lebih cepat.

Jangan anggaran dicairkan di akhir tahun, bahkan beberapa pemerintah daerah (pemda) enjoy parkir dana di bank daerah. Praktik ini menghambat efektivitas belanja pemerintah untuk pemulihan ekonomi termasuk di daerah. 

Subsidi upah pekerja

Kebijakan kedepan, lanjut Bhima, sebaiknya stimulus berupa subsidi upah bagi pekerja juga ditambah dan bukan malah dihilangkan.

Idealnya, per bulan pekerja mendapatkan tambahan subsidi Rp 1,2 juta dilakukan minimum 5 bulan ke depan atau Rp 6 juta per pekerja. Bantuan upah selama ini dianggap terlalu kecil karena masih banyaknya pekerja yang dirumahkan tanpa digaji. 

Pekerja di sektor informal yang belum menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan juga perlu diprioritaskan mendapatkan bantuan subsidi upah.

Menurut Bhima, tidak tepat apabila yang ditambah adalah program kartu pra kerja dimana birokrasi panjang melalui pelatihan online tidak sesuai dengan kondisi saat ini dimana pekerja perlu mendapat bantuan tunai secara cepat. 

Selesai? Belum. Bhima menambahkan, insentif untuk tenaga medis juga perlu ditambah seiring jumlah kasus yang masih meningkat (rata-rata 12.000 kasus dalam 7 hari terakhir). Belanja kesehatan perlu menjadi perhatian utama jika ingin sisi permintaan masyarakat cepat pulih. 

Lalu, terkait kebutuhan anggaran PEN, sebaiknya segera lakukan realokasi anggaran dengan memangkas belanja pegawai dan belanja barang. Selain itu, belanja infrastruktur, khususnya proyek yang belum financial closing atau masih berada dalam tahap perencanaan awal, harus di terminate (dihentikan) agar ruang fiskal bisa dialokasikan untuk stimulus lain yang lebih mendesak. 

Untuk anggaran infrastruktur pada 2021 sebelumnya dialokasikan Rp 414 triliun terlalu jumbo karena tidak mencerminkan prioritas pemerintah di belanja lain yang urgen.

Karena itu, Bhima juga meminta pemerintah segera melakukan revisi APBN 2021 dalam kerangka APBN-Perubahan. Tujuannya membuat asumsi makro ekonomi lebih realistis salah satunya pertumbuhan ekonomi dan inflasi agar tidak overshoot.

Kemudian APBN Perubahan juga diperlukan untuk melakukan realokasi dan refocusing anggaran lebih proporsional dengan kebutuhan belanja kesehatan dan belanja perlindungan sosial. 

Tantangan di tahun 2021, dinilai Bhima, jauh lebih kompleks dibandingkan tahun lalu. Karena itu, perlu diantisipasi tren inflasi rendah yang sebelumnya terjadi bisa meningkat di awal 2021. Pasalnya, ada beberapa hal yang bisa memicu inflasi. 

Pertama, harga pangan mulai naik karena masalah harga internasional produk pangan meningkat, dan curah hujan tinggi ganggu produksi domestik. 

Kedua, bencana alam dibeberapa daerah terbukti meningkatkan inflasi secara signifikan. Daerah Mamuju yang jadi lokasi bencana gempa bumi mengalami inflasi tertinggi pada Januari 2020 yakni 1,4%.

Inflasi yang meningkat akan melemahkan daya beli masyarakat. Semakin tinggi inflasi karena sisi pasokan, maka masyarakat makin lama menahan belanja dan menabung untuk jaga-jaga (pre-caution) atas naiknya harga barang. 

Sebagai antisipasi lonjakan inflasi pangan terlebih jelang Ramadhan, maka pemerintah perlu siapkan pasokan, dan mendorong produksi pangan nasional.

"Fungsi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) juga harus didorong sebagai early warning system kenaikan harga di daerah dan koordinasi pencegahan gangguan stok pangan," tandas Bhima. 

Selanjutnya: BPS catat pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 minus 2,07%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×