kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,92   5,28   0.57%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Catatan ekonom Indef soal pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 yang masih minus


Jumat, 05 Februari 2021 / 12:26 WIB
Catatan ekonom Indef soal pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2020 yang masih minus
ILUSTRASI. Pertumbuhan ekonomi di kuartal IV tahun lalu belum mampu melepaskan diri Indonesia dari kubangan resesi. Sebab, pada kuartal II dan III tahun 2020, pertumbuhan ekonomi nasional juga mengalami minus. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

Sebab, Vietnam mampu tampil lebih baik dalam menarik relokasi pabrik dibanding Indonesia. Selain itu, pasar di dalam negeri dibombardir oleh barang-barang impor, baik bahan baku maupun barang konsumsi sehingga peran industri domestik semakin dianak tirikan. 

Kehadiran e-commerce, sayangnya lebih banyak untungkan produk impor dengan harga yang murah bahkan diberi ongkos kirim yang nyaris gratis. "Barang impor makin mudah sampai ke end customer, secara door to door tanpa adanya regulasi yang tepat mengatur arus barang impor via e-commerce dari pemerintah," imbuh Bhima. 

Betul, pemerintah telah menggelar program vaksinasi Covid-19, yang mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir tahun 2020. Hanya saja, masih timbul pesimisme di masyarakat terhadap jenis vaksin yang digunakan. Selain itu, ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar. 

Bukan cuma itu. Kembali diberlakukannya PPKM jilid I, telah menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam. "Jadi optimisme pemulihan ekonomi nasional yang lebih cepat, pada akhirnya dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," papar Bhima.

Kedua, stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terbukti kurang efektif. Alasannya, kata Bhima, ada perencanaan yang salah di awal pembentukan PEN. Masalah utama, kurangnya suport pada sisi demand policy, yakni perlindungan sosial (Rp 220,3 triliun) dan realisasi belanja kesehatan (Rp 63,5 triliun) masih lebih kecil dibandingkan stimulus lain.

Bhima mencontohkan pembiayaan untuk korporasi sebesar Rp 60,7 triliun, insentif usaha (Rp 56,1 triliun), sektoral K/L dan Pemda (Rp 66,5 triliun) dan insentif usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang hanya mendapatkan gelontoran stimulus sebesar Rp 112 triliun. 

Jika pertumbuhan ekonomi yang negatif dibiarkan hingga kuartal I-2021, lanjut dia, maka Indonesia akan rentan masuk dalam teritori depresi ekonomi. Definisi depresi ekonomi adalah resesi ekonomi yang berkelanjutan satu tahun atau lebih. Biaya pemulihan ekonomi relatif mahal jika depresi terjadi. Pola pemulihan menjadi U-shape atau bahkan L-shape jika kebijakan ekonomi kurang responsif. 

Nah, untuk kembali menggalakkan pertumbuhan ekonomi, ada beberapa langkah yang harus dilakukan pemerintah. Salah satunya kuncinya, adalah penanganan pandemi Covid-19 yang tepat sasaran. Hal ini yang sebelumnya tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah. 

Idealnya, menurut Bhima, pemerintah mendorong sisi permintaan (demand side policy) dibanding fokus pada sisi penawaran (supply side policy). Jika permintaan belum terdorong dengan belanja pemerintah, maka percuma memberikan banyak keringanan bagi pelaku usaha. Masalah utama ada di sisi lemahnya demand. 

Penyerapan anggaran pemerintah yang masih mengikuti pola sebelum pandemi atau waktu normal perlu segera diubah. Sebaiknya pada awal tahun 2021 pemerintah pusat dan pemda segera lakukan pengadaan barang dan jasa lebih cepat.

Jangan anggaran dicairkan di akhir tahun, bahkan beberapa pemerintah daerah (pemda) enjoy parkir dana di bank daerah. Praktik ini menghambat efektivitas belanja pemerintah untuk pemulihan ekonomi termasuk di daerah. 




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Strategi Penagihan Kredit / Piutang Macet secara Dini & Terintegrasi serta Aman dari Jerat Hukum

[X]
×