Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingginya tarif pajak penghasilan (PPh) Badan dinilai berdampak terhadap aliran penanaman modal asing alias foreign direct investment (FDI) yang masuk ke Indonesia.
Memang, Indonesia telah menurunkan tarif PPh Badan menjadi 22% pada tahun pajak 2022. Namun, tarif tersebut dinilai masih terlalu mahal dan kurang kompetitif jika dibandingkan negara lain.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan bahwa tarif PPh Badan masih kalah kompetitif jika dibandingkan dengan negara Singapore, Vietnam dan Thailand, meski masih lebih baik dari Malaysia.
Baca Juga: Tarif PPh Badan Indonesia Terlalu Mahal, Investasi Asing Cenderung Melambat
Padahal, kata Eko, tarif PPh Badan yang lebih kompetitif dibutuhkan untuk mendukung iklim investasi tidak hanya Penanaman Modal Asing (PMA) namun juga Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
"Ini menggambarkan perlunya mengevaluasi PPh Badan dengan juga mempertimbangkan aspek dampak bagi fiskal APBN," ujar Eko kepada Kontan.co.id, Minggu (26/5).
Menurutnya, evaluasi kembali tarif PPh Badan akan sejalan dengan arah strategi Indonesia untuk menjadi negara yang terbaik di kawasan ASEAN.
"Setidaknya (tarif PPh Badan) bisa lebih kompetitif dari Vietnam dan Thailand," katanya.
Baca Juga: Bahlil Lahadalia Sebut Investasi Asing di IKN Sudah Capai Rp 50 Triliun
Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi PMA mencapai Rp 744 triliun atau 52,4% dari total investasi tahun 2023. Nilai ini tumbuh 13,7% atau melambat dibandingkan tahun 2022 yang mampu tumbuh 44,2%.
Sementara berdasarkan Riset KONTAN, tarif PPh Badan di Vietnam berada pada kisaran 15% hingga 17%, Singapore sebesar 17%, Thailand 20% dan Malaysia sebesar 33%.
Berbeda, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa pajak tidak menjadi faktor paling utama investor dalam mempertimbangkan berinvestasi di Indonesia. Namun faktor lainnya adalah kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB).
Baca Juga: Kondisi Global Tak Menentu, Bahlil Optimistis Investasi Asing Tetap Mendominasi
"UU Cipta Kerja hadir karena faktor EoDB yang diterbitkan secara rutin oleh Bank Dunia. Banyak investor asing lebih memilih negara tetangga Indonesia sebagai lahan investasi baru karena faktor kemudahan berusaha," kata Prianto.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, profil EoDB Indonesia di 2020 menunjukkan bahwa faktor pajak secara menyeluruh menjadi tiga besar yang mempengaruhi keputusan investor asing. Faktor pertama dan keduanya adalah akses listrik dan proses memulai usaha.
Selain itu, pemerintah juga telah memberikan insentif pajak bagi investor dalam bentuk tax holiday agar investor dapat mengoptimalkan penghematan PPh Badan ketika memulai berinvestasi di Indonesia.
Oleh karena itu, pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai belum perlu merevisi tarif PPh Badan yang saat ini ditetapkan sebesar 22%.
Baca Juga: Investasi Asing Bakal Tersendat
"Pemerintah baru belum perlu merevisi tarif PPh Badan karena tarif tersebut baru direvisi di UU HPP. Sebelum UU HPP berlaku, ada UU Cipta Kerja (CK) yang merencanakan tarif PPh Badan turun dari 22% ke 20%. Akan tetapi, UU HPP tetap mempertahankan tarif PPh Badan di 22," jelasnya.
Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip berpendapat bahwa tarif PPh Badan Indonesia sudah relatif lebih kompetitif dibandingkan negara peers. Terutama, setelah berlakunya UU Cipta Kerja.
"Selain dalam bentuk tarif, sebenarnya pemerintah kan juga banyak memberikan insentif fiskal dalam bentuk lainnya untuk memberikan daya tarik bagi investor," terang Sunarsip.
Baca Juga: Bahlil Optimistis Investasi Asing di Indonesia Tetap Moncer di Tahun Politik
Selain insentif pajak, pemerintah juga telah banya memberikan bentuk-bentuk insentif lainnya. Sebut saja, harga energi primer yang sangat kompotitif, yang diatur oleh pemerintah. Misalnya saja harga gas DMO yang dipatok sekitar US$ 7 per mmbtu, harga batubara sebesar US$ 70 per ton, serta tarif listrik di Indonesia yang juga tergolong lebih murah dibandingkan dengan negara lain.
"Saya kira kalau seluruh jenis insentif tersebut dijumlahkan, apa yang diberikan pemerintah Indonesia kepada investor tersebut sudah relatif lebih besar dibandingkan oleh negara-negara lain," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News