Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan pada masa 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Masa 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka jatuh pada 28 Januari 2025 setelah dilantik 20 Oktober 2024.
Ahli gizi dr Tan Shot Yen menilai, Badan Gizi Nasional (BGN) memiliki banyak hal yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan MBG yang berlaku mulai 6 Januari 2025.
"Ada sebagian yang menerima program ini. Ada juga anak-anak yang bermasalah (usai mengonsumsi makanan dari program MBG)," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/1/2025).
Menurut Tan, penilaian dan reaksi anak-anak sebagai penerima manfaat program MBG seharusnya menjadi bahan evaluasi oleh BGN.
Menurut Tan, program Makan Bergizi Gratis yang dimulai sejak 6 Januari 2025 dengan target tiga juta penerima manfaat ini terlaksana dengan terburu-buru.
Padahal, dia menyebut, program tersebut tidak mempunyai assessment atau penilaian yang cukup sebelum resmi dilaksanakan.
"Assessment itu penjajakan sebelum program ini disusun, bukan uji coba. Penjajakan (terhadap) beberapa pihak (yang terlibat dalam MBG), seperti penyedia makanan," tuturnya.
Tan mencatat, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi BGN dan pemerintah dalam pelaksanaan program MBG.
Baca Juga: 100 Hari Pertama, Prabowo Lebih Baik Dari Jokowi, Tapi Sejumlah Menteri Bermasalah
1. Meninjau ulang pelaksana program
Saat ini, pemerintah memiliki 190 dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia sebagai unit pelaksana MBG.
Namun, Tan menilai pemerintah, BGN, dan pihak katering kurang mengenal karakter murid yang menjadi konsumen MBG.
Daripada merekrut katering sebagai SPPG sehingga mematikan kantin, Tan lebih menyarankan pemerintah melakukan pembinaan untuk mengedukasi kantin sekolah agar bisa menjadi SPPG.
"Anak-anak biasanya dapat makan dari kantin. Ibu kantin yang paling mengenal anak-anak," kata dia.
Tan menambahkan, pemerintah seharusnya baru merekrut katering menjadi SPPG jika sekolah yang ikut program MBG tidak memiliki kantin.
Baca Juga: Anggaran MBG akan Ditambah, Ekonom Ingatkan Efeknya ke Proyek Infrastruktur
2. Cek preferensi makanan anak
Tan menuturkan, BGN perlu melakukan penilaian terhadap preferensi makanan anak sebelum menentukan menu makanan gratis. Menu itu sebaiknya tidak ditentukan pemerintah.
Pasalnya, anak-anak tidak terbiasa makan makanan baru dan tidak doyan makan sayur. Akibatnya, sisa makanan mereka bisa menjadi sampah.
"Sambil training kantin (menjadi SPPG), anak diberi edukasi pentingnya makan sayur. Diajak mencicipi makanan. Anak tidak terbiasa makan sehat, perlu diajari," terang Tan.
Menurutnya, zat gizi dari makanan gratis tergantung apa yang diberikan SPPG. Namun yang penting, menu makanan tersebut sesuai preferensi anak agar tidak terbuang.
Katering selaku SPPG seharusnya menyiapkan menu makanan gratis yang bahan masakan dan cara memasaknya sesuai kearifan lokal daerah tempat tinggal para anak.
Baca Juga: Mendes Siapkan Anggaran Rp 20 Triliun Dana Desa Untuk Dukung Makan Bergizi Gratis
3. SOP harus dijalankan
Lebih lanjut, Tan juga menyoroti kasus keracunan MBG di Sukoharjo dan tumpukan sampah makanan di beberapa daerah.
"Ini menunjukkan Standard Operating Procedure (SOP) pemerintah tidak dijalankan dengan benar. Kalau dijalankan, tidak ada kejadian seperti ini," jelasnya.
Atas kejadian tersebut, Tan meminta daerah yang mengalami kendala tersebut untuk berhenti segera melakukan evaluasi.
Dia menerangkan, katering yang menyediakan makanan untuk anak-anak perlu menerapkan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) untuk memastikan keamanan pangan.
Misalnya, makanan jadi harus disimpan dalam suhu di atas 60 derajat Celsius. Sebab, makanan jadi yang berada di suhu 5-60 derajat celsius selama lebih dari dua jam berpotensi terkontaminasi. Kondisi ini mengakibatkan keracunan.
Baca Juga: Anak Usia 6-18 Tahun Dapat Pemeriksaan Kesehatan Gratis Saat Tahun Ajaran Baru
4. Harus menjangkau daerah 3T
Tan pun mempertanyakan janji pemerintah memberlakukan program MBG dengan target utama anak-anak di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal atau 3T.
"Kenyataannya, yang dapat itu daerah Jabodetabek atau pusat pemerintah di pulau-pulau lain luar Jawa," ungkapnya.
Tak hanya itu, Tan pun menilai MBG diadakan di sekolah-sekolah yang anaknya mampu mendapatkan makanan lebih sehat dari keluarganya.
Kenyataan ini membuat program Makan Bergizi Gratis menjadi kurang tepat sasaran dan terkesan terburu-buru dilaksanakan.
5. Meninjau sumber pendanaan MBG
Terkait biaya MBG, Tan juga menyoroti program tersebut memiliki sumber pendanaan yang cenderung simpang-siur.
Pemerintah sempat menyebut uang zakat dari masyarakat Indonesia akan dipakai sebagai biaya MBG. Padahal, dia menilai peruntukan zakat untuk MBG tidak sesuai tujuannya.
"Penerima MBG tidak semua Muslim dan tidak mampu. Uang zakat itu harus diberikan sebaik-baiknya ke orang tidak mampu," kata Tan.
Di samping itu, pemerintah sebenarnya telah menganggarkan uang yang sangat besar untuk melaksanakan MBG yang mencapai Rp 71 triliun dari APBN 2025.
Tonton: Prabowo Minta Maaf Banyak Anak yang Belum Terima Makan Bergizi Gratis
6. Sistem monitoring
Tan menambahkan, pemerintah mungkin membentuk SPPG sebagai mitra BGN dalam menyiapkan makanan gratis untuk mencegah korupsi. Padahal untuk mencegah korupsi, pemerintah memerlukan sistem monitoring dan evaluasi yang baik.
"Ketakutan adanya korupsi berarti menunjukkan pemerintah tidak memiliki sistem monitoring yang baik. Kalau ada evaluasi, pelaksanaan program ini bisa lebih baik," tandas Tan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ahli Gizi Beri 6 PR untuk Program Makan Bergizi Gratis"
Selanjutnya: Menanti Efek Donald Trump, Analis Menyodorkan Sejumlah Rekomendasi Saham Hari Ini
Menarik Dibaca: Ada 4 Warna Khas Keberuntungan Imlek yang Bukan Cuma Merah dan Emas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News