kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.943.000   -7.000   -0,36%
  • USD/IDR 16.306   -72,00   -0,44%
  • IDX 7.490   -13,57   -0,18%
  • KOMPAS100 1.062   5,79   0,55%
  • LQ45 796   5,98   0,76%
  • ISSI 254   -0,56   -0,22%
  • IDX30 410   -1,10   -0,27%
  • IDXHIDIV20 470   0,28   0,06%
  • IDX80 120   0,90   0,75%
  • IDXV30 124   0,93   0,76%
  • IDXQ30 131   0,00   0,00%

Semakin Terbuka, Data Wajib Pajak Kini Dipantau dari Banyak Arah


Kamis, 07 Agustus 2025 / 17:01 WIB
Semakin Terbuka, Data Wajib Pajak Kini Dipantau dari Banyak Arah
ILUSTRASI. Data perpajakan di Indonesia akan memasuki era baru yang lebih transparan, atau bagi sebagian pihak, justru lebih menyeramkan.KONTAN/Cheppy A. Muchlis/14/01/2025


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Data perpajakan di Indonesia akan memasuki era baru yang lebih transparan, atau bagi sebagian pihak, justru lebih menyeramkan.

Pasalnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) secara bertahap memperluas kemampuan identifikasi dan pemantauan wajib pajak dengan menggabungkan sejumlah sistem dan teknologi baru.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto mengungkapkan bahwa pihaknya tengah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) dalam rangka penguatan  digital penduduk lewat pengembangan Digital ID.

Dengan Digital ID, DJP berharap bisa memperoleh informasi wajib pajak yang lebih kaya dan terintegrasi.

Baca Juga: DJP Siap Manfaatkan Digital ID dan Payment ID untuk Optimalkan Pajak

"Dengan digital ID nanti untuk informasi yang terkait dengan variable-variable individu yang bersangkutan penduduk ini akan semakin kaya. Jadi semakin bisa mengandung informasi-informasi yang dibutuhkan dalam kerangka optimalisasi penerimaan pajak," ujar Bimo dalam Media Briefing belum lama ini.

Langkah terbaru datang dari kolaborasi dengan Bank Indonesia. Mulai 17 Agustus 2025, sistem Payment ID milik BI akan mulai digunakan. 

Rencananya, Payment ID akan menjadi nomor identifikasi tunggal dalam setiap transaksi digital, yang secara otomatis mengaitkan pembayaran dengan identitas pengguna. 

"Arahnya nanti akan semua ke sana, dalam kerangka besar digital government, jadi e-government. Referensinya adalah Peraturan Presiden terkait dengan sistem pemerintahan berbasis elektronik," kata Bimo.

Belum lama ini, DJP bersama Dukcapil juga telah menandatangani perjanjian kerjasama (PKS) yang mencakup validasi data NIK, pemutakhiran data kependudukan, dan pemberian layanan face recognition untuk mendukung administrasi dan pengawasan perpajakan.

Tak ketinggalan, sistem Coretax yang sudah beroperasi disebut-sebut juga mampu mencatat aktivitas pembelian para wajib pajak. Gabungan sistem ini membuat DJP kini punya peta data yang jauh lebih lengkap dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda sependapat jika Payment ID juga dikaitkan dengan pengawasan transaksi transaksi kejahatan finansial hingga perpajakan.

Dengan begitu, tidak ada lagi celah bagi para pengemplang pajak untuk menghindari kewajiban perpajakannya.

"Data terkait pajak juga bisa menjadi kuat jika disinkronkan dengan Payment ID. Pengemplang pajak itu tidak bisa lari ketika harus mempertanggungjawabkan transaksinya," ujar Huda kepada Kontan.co.id, Kamis (8/7/2025).

Kendati begitu, Huda mengingatkan bahwa harus ada peningkatan infrastruktur kebijakan dari BI maupun  kementerian/lembaga terkait. 

Ia mencontohkan, Kementerian Komunikasi dan Digital harus segera menerbitkan peraturan turunan dari Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sehingga masyarakat bisa membuat laporan pidana ketika ada kasus data yang disalahgunakan.

Baca Juga: Super Tax Deduction Riset Baru Dimanfaatkan 9 Wajib Pajak

Selain itu, DJP juga harus memperbaiki data centernya terlebih dahulu, termasuk dengan sistem Coretax.

"Jadi masalag reformasi keuangan juga harus dibarengi reformasi perpajakan," katanya,

Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menilai, integrasi Payment ID juga juga mencakup sinkronisasi dengan database kependudukan dan aplikasi perpajakan pemerintah seperti Coretax.

Dengan demikian, Payment ID memungkinkan otoritas dan lembaga keuangan mengidentifikasi pelaku transaksi secara unik, memverifikasi keabsahan transaksi, serta menautkan profil individu dengan aktivitas finansialnya secara terperinci.

Dari sisi pemerintah, Ariawan memandang integrasi ini diharapkan akan mendatangkan banyak manfaat.

Pertama, penguatan Profiling Data Wajib Pajak. Jika sebelumnya profil wajib pajak dibangun dari data SPT, data NPWP, dan data perbankan, kini DJP dapat memiliki gambaran menyeluruh profil keuangan setiap individu. 

Kedua, peningkatan kepatuhan pajak karena ruang untuk menyembunyikan penghasilan atau transaksi menjadi sangat sempit. Ketiga, penerapan analisis risiko (risk analysis) yang lebih canggih di bidang perpajakan. Keempat, ujungnya adalah peningkatan penerimaan negara. 

"Dengan meningkatnya kepatuhan dan meluasnya basis pajak, penerimaan pajak negara berpotensi meningkat secara signifikan," kata Ariawan.

Meski demikian, pemerintah atau pihak otoritatif terkait harus mempertimbangkan aspek privasi, kesetaraan, literasi, dan potensi misuse. Dengan narasi mengintegrasikan semua data transaksi keuangan ke dalam satu identitas digital unik tentu masyarakat memiliki kekhawatiran bahwa pemerintah atau pihak lain dapat mengawasi secara menyeluruh aktivitas finansial individu. 

Baca Juga: Sri Mulyani Tawarkan Insentif Pajak 300% untuk Perusahaan yang Mau Danai Riset

"Situasi ini bisa menciptakan chilling effect, yaitu masyarakat membatasi aktivitas keuangan karena takut diawasi," imbuh Ariawan.

Selain itu, akan ada kekawatiran juga dari masyarakat tentang kemungkinan adanya potensi penyalahgunaan kewenangan oleh oknum aparat atau instansi, misalnya data digunakan untuk penindakan non-proporsional. 

Untuk itu, perlu ada jaminan mekanisme kontrol yang ketat agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem fiskal tetap terjaga.

Menurutnya, penting untuk dikaji lebih jauh rencana kebijakan tersebut. Pasalnya, dengan kesan transparansi penuh atas transaksi, masyarakat merasa terus diawasi dan dibebani tanggung jawab fiskal yang berisiko menimbulkan perasaan tidak nyaman dan stres dalam bertransaksi.

"Hal ini  dikhawatirkan malah akan menurunkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi digital formal karena takut dikenakan pajak," terang Ariawan.

Untuk mengurangi kepanikan di masyarakat, Ariawan menyarankan pemerintah untuk melakukan pendekatan yang ditransformasi dana narasi kontrol fiskal menjadi narasi pemberdayaan fiskal.

"Misalnya, alih-alih menonjolkan kemampuan pemerintah untuk melacak semua transaksi, narasi yang dikedepankan misalnya, terkait untuk perlindungan dan jaminan sosial," pungkasnya.

Selanjutnya: Bank Sentral China Perpanjang Pembelian Emas di Juli, Nilainya jadi US$243,99 miliar

Menarik Dibaca: Ini Rekomendasi Infused Water untuk Diet yang Bantu Turunkan Berat Badan Anda

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Video Terkait



TERBARU

[X]
×