Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh ironi dalam kebijakan perpajakan di Indonesia.
Di tengah meningkatnya ketimpangan ekonomi, pemerintah justru menggulirkan kebijakan yang dianggap pro terhadap orang kaya.
Rencana pengampunan pajak alias Tax Amnesy Jilid III dan pembentukan Family Office memicu kritik karena dinilai lebih menguntungkan kelompok superkaya.Dua kebijakan tersebut sekaligus berpotensi menggerus penerimaan negara dan menurunkan kepatuhan pajak masyarakat luas.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menganggap bahwa Tax Amnesty Jilid II pada beberapa tahun lalu tidak hanya gagal mencapai target penerimaan pajak, tetapi juga menciptakan pola perilaku yang tidak mendukung kepatuhan pajak di kalangan pelaku usaha.
"Saya sudah sampaikan ketika Tax Amnesty Jilid II bahwa pelaku usaha akan melakukan cara untuk membuat pemerintah melakukan tax amnesty kembali," ujar Huda kepada Kontan.co.id, Kamis (16/1).
Baca Juga: Ekonom Ini Sindir Sri Mulyani Soal Tax Amnesty Jilid III
Alih-alih patuh, mereka memilih mengemplang pajak sembari menunggu program baru yang memberikan pengampunan.
Huda menilai, dua edisi pengampunan pajak sebelumnya tidak pernah mencapai target penerimaan yang diharapkan. Meski banyak pengungkapan harta yang dilaporkan, ia menyebut bahwa pengembalian aset dan penerimaan pajaknya jauh dari sasaran.
Begitu juga dengan Family Office, Huda menganggap bahwa kebijakan tersebut dapat menjadi suaka pajak bagi kalangan kaya di Indonesia.
"Dengan mendorong Family Office yang mengobral tarif pajak, saya rasa ini justru akan memberikan karpet merah bagi para pengemplang pajak," katanya.
Huda mengingatkan bahwa kebijakan tersebut juga berpotensi melemahkan basis pajak sehingga menimbulkan risiko serius terhadap kondisi keuangan negara.
"Mereka tinggal simpan uangnya di Family Office yang diberikan pajak rendah dan legal. Ini cukup berbahaya bagi kondisi keuangan negara," imbuh Huda.
Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman menilai bahwa dua kebijakan tersebut cenderung berpihak pada Wajib Pajak Besar.
Mantan pegawai DJP Kemenkeu ini menjelaskan, Tax Amnesty sebenarnya bertujuan meningkatkan basis data pajak, yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Namun, berdasarkan pengalamannya di kantor pajak, dampak semacam itu tidak pernah benar-benar terealisasi.
"Sepanjang pengalaman saya di kantor pajak tidak terbukti. Wajib pajak tidak patuh, setelah Tax Amnesty akan kembali ke karakternya yang tidak patuh," katanya.
Baca Juga: Luhut Ingin Family Office Jalan Februari 2025, Pengamat Ungkap Kerugiannya
Menurut Raden, agar lebih efektif, program TA seharusnya tidak hanya terbatas pada deklarasi atau repatriasi.
Dana yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam program TA perlu diarahkan ke instrumen yang mendukung ekonomi, seperti Surat Utang Negara (SUN).
Sementara itu, Family Office adalah strategi perencanaan pajak yang memungkinkan Wajib Pajak besar mengelola investasi mereka dengan tarif pajak yang lebih rendah.
Meskipun secara legal, Raden menilai keberadaan Family Office justru berpotensi menggerus penerimaan negara.
Jika Tax Amnesty mengampuni pajak masa lalu, Family Office justru mendesain investasi agar terhindar dari pajak atau hanya membayar pajak dalam jumlah kecil.
"Jadi, baik Tax Amnesty maupun Family Office sama-sama merugikan kepada penerimaan pajak jika dibandingkan dengan ketentuan umum perpajakan yang diterapkan kepada Wajib Pajak khususnya Wajib Pajak menengah-bawah," pungkas Raden.
Selanjutnya: Dirjen Migas Achmad Muchtasyar Dorong Koperasi dan BUMD Kelola Sumur Minyak Tua
Menarik Dibaca: Hujan Sangat Lebat di Provinsi Ini, Cek Peringatan Dini Cuaca BMKG 17-19 Januari 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News