Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut, pemerintah bisa mengumpulkan penerimaan negara mencapai Rp 469 triliun hingga Rp 524 triliun apabila menerapkan sumber-sumber pajak baru ini. Mulai dari mengenakan pajak progresif kepada korporasi besar maupun segelintir orang super kaya.
Menurut Celios, berbagai kebijakan pajak progresif berpotensi menambah penerimaan negara hingga ratusan triliun rupiah per tahun. Antara lain melalui peninjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran sebesar Rp 137,4 triliun, pajak kekayaan pada 50 orang terkaya senilai Rp 81,6 triliun, pajak karbon Rp 76,4 triliun.
Lalu, pajak produksi batubara Rp 66,5 triliun, pajak windfall profit sektor ekstraktif Rp 50 triliun, serta pajak atas penghilangan keanekaragaman hayati Rp 48,6 triliun.
Tambahan penerimaan juga dapat diperoleh dari pajak digital sebesar Rp 29,5 triliun, peningkatan tarif pajak warisan Rp 20 triliun. Kemudian, pajak kepemilikan rumah ketiga Rp 4,7 triliun, pajak capital gain Rp 7 triliun, dan cukai minuman berpemanis dalam kemasan Rp 3,9 triliun yang sekaligus mendukung kesehatan publik.
Baca Juga: Penjelasan Kemenkeu soal Tax Ratio yang Turun Saat Ekonomi Tumbuh Tinggi
Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan, angka-angka itu masuk akal secara teknis, tetapi tidak secara politik.
"Jadi, satu-satunya cara kita bisa memecah kebuntuan ini adalah jika orang mulai memahami bahwa ada sistem alternatif di luar sana. Bahwa ada cara alternatif untuk mengumpulkan pajak, bahwa kita sebenarnya tidak menghadapi krisis anggaran," ujar Media dalam diskusi Celios yang digelar di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Sementara itu, Peneliti Celios Jaya Darmawan berpandangan, mendorong penerimaan negara alternatif tidak hanya dapat menjadi solusi bagi peningkatan penerimaan negara yang signifikan. Tetapi juga mampu meningkatkan aspek keadilan fiskal yang menjadi pertanyaan masyarakat luas.
Bahkan, dalam aspek kerusakan lingkungan yang memiliki eksternalitas negatif yang tinggi, kata dia, terdapat instrumen pajak biodiversity loss yang bisa menekan kehilangan keanekaragaman hayati, sekaligus menambah penerimaan pajak hingga Rp 48,6 triliun.
"Pajak progresif di sektor lingkungan juga dapat mengurangi ketimpangan ekonomi yang diproduksi melalui aktivitas ekstraktif yang didominasi orang super kaya, yang mana 56% kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia berasal dari sektor ekstraktif," kata Jaya.
Baca Juga: Kejar Target Pajak pada Semester II-2025, Kemenkeu Fokus Pengawasan dan Intensifikasi
Selanjutnya: Emiten Kelapa Sawit Haji Isam, PGUN Beri Klarifikasi ke BEI, Simak Penjelasannya
Menarik Dibaca: 5 Alasan Pria Harus Pakai Sunscreen, Bukan Hanya untuk Wanita
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News