Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan barang Indonesia mencetak surplus sebesar US$ 4,33 miliar pada Maret 2025.
Angka ini meningkat US$ 1,23 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Dengan demikian, Indonesia telah mencatatkan surplus neraca perdagangan selama 59 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan bahwa surplus pada Maret 2025 terutama disumbang oleh komoditas nonmigas yang mencapai US$ 6 miliar.
Baca Juga: Surplus Neraca Dagang Indonesia Diproyeksi Menyempit, Ini Sentimen yang Membayanginya
Komoditas utama penyumbang surplus tersebut antara lain lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15), bahan bakar mineral (HS 27), serta besi dan baja (HS 72).
Meski kinerja perdagangan masih kuat, sejumlah ekonom mengingatkan potensi risiko dari kebijakan tarif balasan oleh Amerika Serikat (AS), menyusul rencana pemerintah Indonesia untuk meningkatkan impor dari negara tersebut.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, menilai rencana peningkatan impor dari AS sebesar US$ 1,5 miliar hingga US$ 2 miliar per tahun perlu diwaspadai.
Ia menyoroti komoditas utama yang akan diimpor, seperti minyak bumi olahan, kedelai, dan gandum. Menurutnya, hal ini terjadi seiring kemajuan dalam pembicaraan perdagangan bilateral.
Baca Juga: Surplus Neraca Dagang di Bulan Januari 2025 Bakal Menurun
Namun, Hosianna juga memperingatkan adanya risiko dari potensi kenaikan tarif AS terhadap komoditas minyak sawit dan penurunan harga batubara. Kedua faktor tersebut dinilai dapat membebani kinerja ekspor Indonesia, khususnya sektor pertambangan yang tercatat turun 29,27% secara tahunan pada kuartal I-2025.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyatakan bahwa saat ini AS merupakan mitra dagang dengan surplus terbesar bagi Indonesia.
Ia mengingatkan bahwa peningkatan impor dari AS, khususnya pada minyak, gas, gandum, kedelai, dan alat utama sistem persenjataan (alutsista), berpotensi menggerus surplus tersebut secara signifikan.
“Jika impor terus meningkat tanpa diimbangi ekspor, bukan tidak mungkin surplus akan menyusut, bahkan berpotensi berubah menjadi defisit dalam hubungan dagang bilateral dengan AS,” ujar Josua.
Baca Juga: BPS: Sejak 2015 Hingga Maret 2025, Surplus Neraca Dagang dengan AS Meningkat
Ia menilai, peningkatan impor dari AS dapat menjadi titik balik tren surplus neraca perdagangan Indonesia selama ini. Apabila tidak diiringi dengan ekspor yang kuat ke negara lain, situasi ini dapat mempersempit neraca perdagangan ke depan.
Meski demikian, Josua menilai langkah pemerintah meningkatkan impor dari AS merupakan bagian dari strategi diplomasi ekonomi. Pendekatan yang lebih akomodatif dinilai dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata mitra dagangnya dan mendorong reformasi kebijakan perdagangan.
“Kebijakan ini bisa menjadi insentif untuk membuka peluang kerja sama yang lebih luas dan mendorong reformasi struktural dalam perdagangan,” tutup Josua.
Selanjutnya: Vatikan Umumkan Penyebab Meninggalnya Paus Fransiskus
Menarik Dibaca: 5 Tontonan Film Tentang Bumi dan Isu Lingkungan Hidup Beragam Genre
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News