Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Wacana pemerintah untuk mendorong kebijakan deregulasi nampaknya penting segera dilakukan. Kebijakan ini penting untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tidak stagnan di bawah atau kisaran 5%-an.
Kepala Pusat Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufiqurrahman menyampaikan, urgensi deregulasi saat ini merupakan kebutuhan struktural untuk membongkar simpul-simpul penghambat ekonomi yang sudah terlalu lama membelit.
Menurutnya, dalam konteks investasi, hambatan bukan hanya soal perizinan yang berlapis atau birokrasi yang lamban, tetapi juga tumpang tindih regulasi pusat-daerah, kepastian hukum yang lemah, serta inkonsistensi kebijakan antar-kementerian.
“Situasi ini membuat biaya transaksi ekonomi tinggi dan menggerus minat investor, apalagi di tengah perlambatan ekonomi global,” tutur Rizal kepada Kontan, Kamis (14/8).
Baca Juga: INDEF Mendorong Pemanfaatan Transisi Hijau Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi
Ia membeberkan, apabila pemerintah ingin laju pertumbuhan tetap bertahan di atas 5%, maka deregulasi harus menyasar penyederhanaan prosedur izin, harmonisasi aturan pusat-daerah, percepatan digitalisasi layanan publik, dan jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
Ia menekankan, tanpa langkah itu, produktivitas investasi akan terus tertekan dan multiplier effect terhadap lapangan kerja serta daya beli masyarakat menjadi terbatas.
Apabila belajar dari era deregulasi Preisden Soeharto pada pertengahan 1980-an, menurutnya efek kebijakan semacam ini tidak instan. Saat itu, hasilnya baru terasa dalam satu hingga dua tahun setelah regulasi kunci direformasi, terutama yang berkaitan dengan sektor finansial, perdagangan, dan industri.
“Artinya, bila deregulasi dijalankan konsisten mulai akhir 2025, dampak positif terhadap arus investasi dan pertumbuhan baru akan terasa penuh pada 2027,” ungkapnya.
Meski demikian, Rizal menyebut prosesnya berbeda dengan masa lalu, tantangan saat ini lebih kompleks, karena harus menghadapi keterbukaan ekonomi, dinamika politik, tekanan iklim global, serta ekspektasi publik terhadap transparansi.
Oleh karena itu, lanjutnya, deregulasi masa kini harus berbasis aturan hukum yang kuat, transparan, dan terintegrasi dengan agenda reformasi struktural lain seperti reformasi perpajakan dan pembenahan pasar tenaga kerja.
“Tanpa desain yang holistik, terstruktur, deregulasi bisa berakhir sekadar kosmetik terlihat sibuk merombak aturan, tetapi tak mengubah fondasi ekonomi secara nyata,” terangnya.
Sulit Mencapai Ekonomi 8% di 2029
Meski sudah mengeluarkan kebijakan deregulasi pada tahun ini, Rizal menilai, peluang Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 sangat kecil mengingat struktur ekonomi saat ini lebih bergantung pada konsumsi domestik dan komoditas, sementara manufaktur dan produktivitas tenaga kerja belum sepenuhnya pulih.
Baca Juga: Celios Sebut PBB Sudah Balas Permintaan Audit Data Ekonomi RI
Menurutnya, deregulasi yang efektif memang dapat memperbaiki iklim investasi dan mendorong pertumbuhan, namun dampak penuhnya baru terasa dalam tiga hingga empat tahun kedepan.
“Sehingga proyeksi realistis 2029 berada di kisaran 6% hingga 6,5% dengan asumsi reformasi berjalan konsisten, infrastruktur dan industri bernilai tambah diperkuat, serta integrasi rantai pasok global dipercepat,” hitungnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, untuk kembali ke level high growth ala Orde Baru dibutuhkan kombinasi faktor langka seperti commodity boom besar, lonjakan investasi asing langsung yang signifikan, dan percepatan industrialisasi ekspor komoditas unggul dimana kondisi global saat ini peluangnya relatif terbatas.
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa langkah deregulasi harus menjadi prioritas dalam merespons tantangan ekonomi global, termasuk dampak kebijakan tarif Amerika Serikat (AS) terhadap produk ekspor Indonesia.
Menurutnya, dalam menghadapi tekanan tarif dagang, Indonesia perlu merespons secara strategis dengan membenahi regulasi yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Ia mendorong pendekatan deregulasi dilakukan secara top-down, seperti yang dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melalui Inpres No. 4 Tahun 1985, yang dinilai berhasil menciptakan lompatan ekonomi.
Ia menyatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah memutuskan untuk melaksanakan program deregulasi dan telah mengumumkan rencana tersebut secara terbuka.
Kini, tantangan berikutnya adalah eksekusi oleh kementerian teknis, khususnya Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Luhut optimistis, jika deregulasi berjalan lancar dan konsisten, Indonesia berpeluang mencatat pertumbuhan ekonomi 7% hingga 8% pada 2029–2030.
Saya kira Presiden Prabowo sudah memutuskan dilakukan, tinggal kita bagaimana eksekusinya, itu saya kira akan membawa dampak ekonomi yang sangat bagus buat Indonesia ke depan," imbuhnya.
Baca Juga: Ekonomi Digital Penting untuk Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 8%
Selanjutnya: IHSG Menguat ke 7.965 pada Sesi I Kamis (14/8/2025), Ini Sektor Penggeraknya
Menarik Dibaca: 6 Alasan Alpukat Bagus Dikonsumsi saat Diet Tubuh, Cek di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News