Reporter: Dendi Siswanto, Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Center of Economics and Law Studies (Celios) menilai deregulasi memang diperlukan, namun selama satu dekade terakhir, upaya deregulasi pemerintah belum membuahkan hasil yang optimal.
Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan, selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam dua periode sebelumnya, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan deregulasi, mulai dari 16 Paket Kebijakan Ekonomi, Undang-Undang Cipta Kerja yang diklaim menyederhanakan iklim investasi, hingga berbagai aturan untuk mempermudah perizinan usaha.
Baca Juga: CORE Sebut Deregulasi Bisa Jadi Bumerang jika Abaikan Dampak Sosial
“Investasi masuk, tapi tidak berkualitas dan tidak menyerap tenaga kerja. Pada akhirnya, deregulasi yang dilakukan tidak efektif,” ujar Huda kepada Kontan.co.id, Kamis (14/8/2025).
Meski demikian, deregulasi tetap dibutuhkan di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, namun menurut Huda, langkah ini belum mampu mensejahterakan masyarakat.
“Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% mungkin bisa, tapi untuk mensejahterakan masyarakat, masih jauh dari kata efektif,” katanya.
Sementara itu, Center of Reform on Economics (CORE) menekankan deregulasi di Indonesia mendesak untuk mendorong investasi, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja.
Namun, langkah tersebut perlu dilakukan hati-hati dan berbasis evaluasi yang transparan untuk menghindari dampak negatif yang pernah terjadi sebelumnya.
Baca Juga: Deregulasi Penting Dilakukan, Agar Ekonomi Indoensia Bertahan di Atas 5%
Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, birokrasi yang kompleks dan regulasi tumpang tindih kerap menjadi penghambat masuknya investasi asing langsung (FDI).
“Upaya penyederhanaan perizinan hingga harmonisasi peraturan daerah belum selalu berjalan mulus dan sering menghadapi resistensi birokrasi, sementara dampak sosialnya kerap kurang diperhitungkan,” ujar Yusuf kepada Kontan.co.id.
Yusuf mencontohkan, Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) jilid 1 hingga 16 di era Jokowi berhasil memperbaiki peringkat Ease of Doing Business dari posisi 120 menjadi 73 pada 2019.
Namun, keberhasilan ini tidak merata antar-daerah, dan beberapa insentif lebih menguntungkan investor besar dibanding UMKM, menimbulkan pertanyaan soal keadilan ekonomi dan inklusivitas.
Ia menekankan, sejarah deregulasi di era Soeharto maupun PKE Jokowi menjadi pelajaran penting.
Baca Juga: Pemerintah Deregulasi untuk Dorong Kemudahan Berinvestasi, Pengamat Ingatkan Hal Ini
Deregulasi yang terlalu cepat atau tanpa pengawasan berisiko menimbulkan kroni kapitalisme, ketimpangan sosial, dan eksploitasi tenaga kerja.
Oleh karena itu, meski deregulasi tetap penting, pemerintah perlu fokus pada transparansi, evaluasi berbasis data, dan reformasi institusi, agar aturan yang dihapus atau disederhanakan benar-benar mendorong investasi secara merata, menciptakan efek positif bagi PDB, dan menghindari kesalahan masa lalu, tambah Yusuf.
Selanjutnya: Nadeen Ayoub Catat Sejarah! Wakili Palestina di Miss Universe 2025 untuk Pertama Kali
Menarik Dibaca: Habis Cetak Rekor Tertinggi, Harga Bitcoin Langsung Terjun Bebas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News