Reporter: Arif Ferdianto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan bahwa Garis Kemiskinan Indonesia terlalu rendah, untuk itu perlu direvisi dengan pendekatan standar Bank Dunia.
Sekedar mengingatkan, Bank Dunia merilis bahwa penduduk miskin di Indonesia melonjak signifikan menjadi 194,4 juta jiwa atau setara dengan 68,91% dari total populasi di tanah air.
Hal ini terjadi usai Bank Dunia mengubah metode penghitungan garis kemiskinan dari standar purchasing power parity (PPP) 2017 ke PPP 2021. Di mana, metode ini menyebutkan garis kemiskinan internasional bagi kategori negara berpendapatan menengah mencakup Indonesia, naik dari US $6,85 menjadi US$ 8,30 per orang per hari.
“Garis kemiskinan yang terlalu rendah tersebut membuat pemerintah mengandalkan bansos untuk mengangkat masyarakat miskin ke atas garis kemiskinan,” ujarnya kepada KONTAN, Selasa (10/6).
Wijayanto menjelaskan, dengan metode Bank Dunia yang anyar ini, tentunya bansos saja tidak cukup. Untuk itu, pemerintah perlu menjalankan program yang bersifat struktural dan substantif.
Baca Juga: Data Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia, IMF, dan BPS Beda, Ini Kata Pengamat
Dia tak memungkiri, standar bank dunia itu terlalu tinggi bagi Indonesia, mengingat itu diperuntukkan bagi negara upper middle income dengan PDB per kapita US$ 4.500 – US$ 14.000. Sementara Indonesia dengan PDB per kapita sebesar US$ 4.900, berada di batas bawah.
“Salah satu solusi yang mungkin adalah menaikkan secara gradual, menuju standard bank dunia saat PDB per kapita kita mendekati US$ 9.500 (median range upper middle income) misalnya,” terangnya.
Di samping itu, Wijayanto mengungkapkan, golongan masyarakat yang paling rentan tergelincir dengan adanya metode bank dunia tersebut ialah masyarakat yang berada di atas garis kemiskinan, sebab program gimik pemerintah seperti bansos dan subsidi lainnya, APBN tak akan mampu mengangkat.
Baca Juga: Pemerintah akan Merevisi Batas Garis Kemiskinan Indonesia, Ini Bocorannya
Berikutnya, mereka yang bekerja paruh waktu dan yang berada di sektor informal, petani dan nelayan, pekerja yang telah menikah dengan pendapatan UMP atau lebih rendah.
Wijayanto berpandangan, program seperti bansos bukanlah program yang berkelanjutan karena menciptakan ketergantungan dan tidak meningkat produktivitas rakyat. Selain itu, pelatihan kerja termasuk program kartu pra kerja juga belum efektif mendongkrak produktifitas.
“Kita terjebak pada pendekatan gimmick dan formalitas, yang bergantung pada APBN,” tandasnya.
Baca Juga: Ekonom: Indonesia Butuh Kebijakan Pengentasan Kemiskinan yang Menyentuh Akar Masalah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News