Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai dengan berbagai tantangan ekonomi hingga meningkatknya angka kemiskinan di Indonesia, dibutuhkan kebijakan ekonomi pemerintah yang bergerak ke arah yang lebih struktural dan menyentuh akar permasalahan.
Asal tahu saja, laporan terbaru Bank Dunia yang bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform menyebutkan tingkat kemiskinan Indonesia naik menjadi 194,4 juta atau sekitar 68,91% dari populasi penduduk.
Selain itu data-data lainnya terkait kenaikan jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat hingga 20 Mei 2025, tercatat kasus PHK mencapai 26.455 kasus atau bertambah 5.000 kasus jika dibandingkan periode sama di 2024.
Baca Juga: Pemerintah akan Merevisi Batas Garis Kemiskinan Indonesia, Ini Bocorannya
Ini membuat klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) di BPJS Ketenagakerjaan juga naik hingga 150% mencapai 52.850 klaim pada April 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ekonom sekaligus Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menilai, kebijakan pemerintah jangka pendek yang selama ini seperti insentif fiskal belum cukup menjawab kebutuhan masyarakat secara menyeluruh, terutama kelompok rentan.
"Kebijakan ekonomi memang perlu lebih menyentuh ke akar masalah yang dihadapi saat ini, terutama dalam jangka pendek-menengah," ujar Eko kepada Kontan, Selasa (10/6).
Pasalnya, tingginya angka kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan di permukaan semata, melainkan harus melalui strategi komprehensif yang mampu menyentuh ke akar masalah dan mampu memperkuat fondasi ekonomi rakyat.
Eko mengusulkan tiga pilar kebijakan struktural yang dianggap mampu menjadi solusi atas masalah kemiskinan yang semakin mengkhawatirkan.
Pertama, ia menyoroti perlunya kebijakan yang langsung mendorong konsumsi masyarakat. Menurutnya diperlukan relaksasi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bisa memperluas daya beli kelas menengah dan bawah, yang selama ini paling terdampak oleh tekanan ekonomi.
“Ketika konsumsi naik maka ada peluang membuka lapangan kerja dan menstimulasi aktivitas bisnis,” jelasnya.
Baca Juga: Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Dorong Revisi Batas Garis Kemiskinan Indonesia
Kedua, Eko menekankan pentingnya program padat karya berbasis proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh APBN. Pasalnya strategi ini dinilai dapat menciptakan lapangan kerja langsung bagi masyarakat di daerah.
"Program padat karya melalui proyek-proyek infrastruktur dari APBN. Ini jug perlu untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan ekonomi daerah," ujarnya.
Ketiga, kemudahan akses permodalan untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dinilai krusial sebagai bagian dari kebijakan pemerataan ekonomi. Pasalnya UMKM merupakan tulang punggung perekonomian rakyat yang selama ini masih menghadapi hambatan struktural, terutama dalam hal permodalan dan akses pasar.
Dengan menggabungkan ketiga strategi tersebut, Eko yakin bahwa pemerintah dapat membangun fondasi kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan dalam menanggulangi kemiskinan.
"Kombinasi tiga strategi ini bisa mendorong ekonomi," pungkasnya.
Selanjutnya: Transaksi BNI Agen46 Capai 26,48 juta per Mei 2025
Menarik Dibaca: Incar Dividen dari Big Caps? Kesempatan Beli PGEO, MEDC dan UNVR sampai 13 Juni 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News