Reporter: Dendi Siswanto, Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rumor penggantian Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menguat. Dirjen Pajak baru diminta tidak memuluskan kebijakan yang pro konglomerat, seperti pengampunan pajak alias tax amnesty dan pembentukan family office.
Sebagaimana diketahui, DPR telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025, setelah pemerintah dua kali melaksanakan program ini. Adapun RUU tersebut diinisiasi oleh Komisi XI DPR.
Sementara pembentukan family office telah direstui pemerintahan Joko Widodo menjelang akhir jabatannya.
Baca Juga: Timbang Matang Kebijakan Pajak Pro Konglomerat
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku pihaknya telah bergerak sejak enam bulan lalu untuk mempersiapkan pembentukan family office di Indonesia. Bahkan Luhut bilang, family office akan terbentuk pada tahun ini.
Namun, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menegaskan, siapapun yang akan menduduki jabatan Dirjen Pajak harus menolak dua wacana tersebut. Sebab, kedua kebijakan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan dalam sistem perpajakan.
"Keduanya merupakan opsi kebijakan pajak yang tidak berkeadilan, mementingkan kelompok kaya dan super kaya. Keduanya juga akan menggerus kepatuhan wajib pajak," kata Fajry, kemarin.
Tidak hanya itu, Fajry menegaskan kedua kebijakan tersebut justru berdampak negatif terhadap penerimaan negara. "Saya sendiri ragu kalau ada dampak positif dari tax amnesty bagi penerimaan negara," imbuhnya.
Baca Juga: Tok! Ditjen Pajak Hapus Saksi Keterlambatan Bayar Pajak dan Lapor SPT Tahunan
Sebelumnya, Director of Fiscal Research and Advisory Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan enam poin sebelum menggelar tax amnesty lagi.
Pertama, setoran pajak tax amnesty yang dilakukan berulang dalam jangka waktu berdekatan hasilnya tidak akan sebesar penerimaan periode sebelumnya. Kedua, basis pajak dalam beberapa tahun terakhir justru tumbuh dua digit tanpa melalui program tax amnesty.
Minat investor
Ketiga, penyelenggaraan tax amnesty secara berulang berpotensi mengikis kepatuhan sukarela. Bahkan, penyelenggaraan tax amnesty justru memberi sinyal ke wajib pajak, otoritas cenderung lemah dan tidak mampu melakukan penegakan hukum.
Keempat, tax amnesty bukanlah faktor yang menentukan keputusan pelaku usaha dalam menempatkan modal, melainkan sistem pajak dan faktor nonpajak lainnya.
Kelima, tax amnesty bisa mengurangi ketimpangan ekonomi dan memastikan beban pajak terdistribusi secara merata. Keenam, tax amnesty bisa jadi penanda mulainya implementasi coretax administration system, pendirian lembaga pajak baru, penetapan pungutan baru, dan lain-lain.
Baca Juga: Setoran Pajak Januari 2025 di Beberapa Wilayah Anjlok
Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Konsultan Pajak Indonesia Pino Siddharta sepakat kebijakan tax amnesty bisa jadi salah satu alternatif, mengingat penerimaan pajak saat ini tengah mengalami tekanan. Namun, tax amnesty akan mencederai wajib pajak yang yang sudah patuh.
Pino juga wanti-wanti pemerintah mempertimbangkan kembali rencana pendirian family office karena dianggap mengusik rasa keadilan bagi wajib pajak.
"Family office juga belum tentu mengundang minat investor asing," kata Pino.
Selanjutnya: Jurus Keberlanjutan di Korporasi Lapangan Golf
Menarik Dibaca: Cek di Sini, Jadwal KRL Jogja-Solo Pada Senin 19 Mei 2025 ke Stasiun Palur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News