kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.706.000   -3.000   -0,18%
  • USD/IDR 16.340   -15,00   -0,09%
  • IDX 6.618   86,45   1,32%
  • KOMPAS100 963   10,57   1,11%
  • LQ45 753   6,24   0,83%
  • ISSI 204   3,07   1,52%
  • IDX30 391   2,33   0,60%
  • IDXHIDIV20 475   7,20   1,54%
  • IDX80 109   1,13   1,05%
  • IDXV30 113   2,27   2,05%
  • IDXQ30 129   1,02   0,80%

Kinerja Penerimaan Pajak Diprediksi Menurun Awal Tahun 2025, Ini Penyebabnya


Kamis, 06 Maret 2025 / 17:06 WIB
Kinerja Penerimaan Pajak Diprediksi Menurun Awal Tahun 2025, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. Pengamat Pajak CITA mengungkapkan, terdapat dua faktor yang menjadi penyebab merosotnya penerimaan pajak awal tahun ini


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja penerimaan pajak pada awal tahun 2025 diperkirakan merosot. Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, terdapat dua faktor yang menjadi penyebab merosotnya penerimaan pajak awal tahun ini.

Yakni, masih terkendalanya operasional sistem pajak baru Coretax dan koreksi dari mekanisme Tarif Efektif Rata-rata (TER).

Fajry mengungkapkan, salah satu faktor yang berpengaruh menghambat penerimaan pajak adalah kendala teknis dalam penerapan sistem Coretax.

Sejak diterapkan awal tahun ini, sistem pajak baru ini mengalami berbagai hambatan yang berdampak pada administrasi pajak wajib pajak (WP).

“Kita tahu bahwa sistem tidak berjalan mulus, banyak WP (wajib pajak) kesulitan dalam mengadministrasikan pajaknya, baik PPh maupun PPN, misalnya kesulitan penerbitan faktur pajak di bulan Januari melalui Coretax,” tutur Fajry kepada Kontan, Kamis (6/3).

Baca Juga: Penerimaan Pajak di Daerah Ini Turun 2,7%, Akibat Kendala di Sistem Coretax

Fajry menambahkan, penurunan penerimaan pajak akibat risiko operasional masih dianggap sementara, kecuali jika permasalahan Coretax terus berlanjut. Ia berpendapat, jika masalah sistem ini tidak segera diselesaikan, dampaknya bisa lebih luas dan mempengaruhi penerimaan pajak secara tahunan.

Faktor kedua adalah koreksi dari penerimaan PPh Pasal 21 akibat mekanisme TER. Fajry menilai, koreksi ini muncul karena sebagian besar pajak yang dipotong oleh perusahaan untuk masa Desember baru disetorkan dan dilaporkan pada bulan Januari tahun berikutnya. Hal ini menyebabkan angka penerimaan pajak pada Januari 2025 terlihat lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya.

Selain faktor teknis, Fajry melihat, kondisi makroekonomi yang masih menunjukkan pelemahan juga turut berdampak pada penerimaan pajak.

Beberapa indikator ekonomi seperti penurunan penjualan kendaraan bermotor dan semen menjadi sinyal bahwa aktivitas ekonomi masyarakat mengalami perlambatan. Jika kondisi ini berlanjut, maka target penerimaan pajak tahunan bisa semakin sulit dicapai.

Meski demikian, Fajry menyebut, untuk keseluruhan tahun faktor ekonomi tetap menjadi penentu utama kinerja penerimaan pajak.

Secara historis, ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, tax ratio cenderung ikut menurun. Meskipun ada proyeksi optimis mengenai pertumbuhan ekonomi tahun ini, terdapat pula prediksi yang menyatakan bahwa perekonomian bisa melemah.

“Kalau ekonomi kita bisa tumbuh 5,7-5,8% untuk tahun ini, tax ratio (dalam arti sempit)  kita bisa naik ke 11%,” kata Fajry.

Maka dari itu, untuk mendorong penerimaan pajak tahun ini, pemerintah disarankan untuk mengambil langkah strategis untuk mendukung perbaikan ekonomi dan meningkatkan penerimaan pajak.

Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain adalah menghapus hambatan yang memperlambat roda ekonomi, seperti pungutan liar, korupsi, persaingan usaha yang tidak sehat, serta praktik rente ekonomi. Dengan mengatasi hambatan ini, perputaran ekonomi diharapkan menjadi lebih lancar, sehingga penerimaan pajak bisa meningkat.

Baca Juga: Penerimaan Pajak 2025 Terhambat, Target Semakin Sulit Dicapai

Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga dinilai perlu melakukan upaya ekstra dalam pengawasan, ekstensifikasi, penegakan hukum, serta penagihan pajak. Jika melihat data tahun 2021, otoritas pajak sebenarnya memiliki kapasitas yang cukup dalam melakukan pengawasan. Namun, diperlukan tambahan data dari pihak ketiga agar pengawasan pajak bisa lebih optimal.

Untuk diketahui, Beberapa Kantor Wilayah (Kanwil) Ditjen Pajak sudah melaporkan realisasi penerimaan pajak masing-masing periode Januari 2025. Terdapat beberapa Kanwil yang penerimaan pajaknya mengalami kontraksi.

Melansir laman resmi Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, penerimaan pajak di beberapa kanwil mengalami kontraksi signifikan. Diantaranya, pertama, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Papua, Papua Barat, dan Maluku (Kanwil DJP Papabrama) mencatat realisasi penerimaan pajak bulan Januari 2025 sebesar Rp 485,59 miliar.

Realisasi penerimaan pajak tersebut mengalami kontraksi cukup dalam, yakni sebesar 41,27% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).

Rincian penerimaan pajak tersebut terdiri dari, setoran Pajak Penghasilan (PPh) mengalami kontraksi 71,17% yoy akibat implementasi Coretax yang menyebabkan pemusatan setoran NPWP cabang ke pusat, terutama dari sektor pertambangan.

Namun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencatat pertumbuhan positif sebesar 18,67% (yoy), didorong oleh peningkatan belanja pemerintah atas barang dan jasa.

Kedua, penerimaan pajak di Jawa Timur mencapai Rp 19,05 triliun, atau mengalami kontraksi 2,70% yoy.  Penurunan ini dipengaruhi oleh kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang yang mengurangi penerimaan pajak di Jawa Timur, serta belum optimalnya implementasi sistem perpajakan Coretax yang berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan.

Ditjen Pajak Kanwil Jawa Timur mengakui, penerimaan pajak masih menghadapi tantangan akibat kebijakan pemusatan pembayaran untuk Wajib Pajak cabang dan belum optimalnya implementasi Coretax DJP yang mempengaruhi proses penerbitan faktur pajak oleh Wajib Pajak.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Januari 2025 Jauh dari Harapan

Adapun di Kanwil Jawa Timur penerimaan PPN dan PPnBM masih mendominasi dengan kontribusi sebesar 66,32%, sementara PPh nonmigas berkontribusi 32,95% hingga akhir Januari 2025.

Di sisi lain, penerimaan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak lainnya mengalami pertumbuhan signifikan masing-masing sebesar 693,01% dan 311,23%.

Ketiga, Kantor Wilayah DJP Lampung mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 377,08 miliar. Realisasi tersebut terkontraksi 21,42% yoy.

Kepala Seksi Data dan Potensi Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung Novidar menyampaikan, penerimaan pajak dari berbagai sumber menunjukkan pola pertumbuhan yang bervariasi. PPN tetap menjadi kontributor utama penerimaan pajak sebesar Rp 225,9 miliar atau tumbuh positif 6,14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kemudian, penerimaan dari PPh mencapai Rp 135,4 miliar dengan atau mengalami kontraksi sebesar 48%. Menurutnya, terkontraksinya penerimaan ini dipengaruhi berbagai faktor eksternal.

Keempat, Penerimaan pajak di Jawa Timur mencapai Rp 19,05 triliun, atau mengalami kontraksi 2,70% yoy.  Penurunan ini dipengaruhi oleh kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang yang mengurangi penerimaan pajak di Jawa Timur, serta belum optimalnya implementasi sistem perpajakan baru (Coretax DJP), yang berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan.

Selanjutnya: Dilanda Banjir, 114 Sekolah Rusak di Bekasi

Menarik Dibaca: Ini Langkah Praktis Tarik Tunai BCA Tanpa Kartu ATM dengan Aman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×