Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira turut menyoroti efektivitas kebijakan subsidi upah dan insentif fiskal lain yang dirancang pemerintah menjelang kuartal III-2025.
Menurut Bhima, besaran subsidi upah menjadi penentu utama daya dorong terhadap konsumsi rumah tangga.
"Ini tergantung besaran subsidi upah nya, idealnya 30% atau setara Rp 1 juta untuk pekerja gaji 3,5 juta. Jika subsidi upahnya dibawah Rp 600 ribu per bulan maka daya dorong ke konsumsi rumah tangga bakal terbatas," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (25/5).
Bhima juga menegaskan pentingnya kebijakan subsidi upah dibarengi dengan pengendalian harga kebutuhan pokok dan transportasi. Tanpa itu, daya beli pekerja tetap tergerus inflasi.
Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa pekerja informal juga harus masuk dalam skema subsidi upah. Ia menilai, selama ini program pemerintah terlalu bergantung pada data BPJS Ketenagakerjaan, yang mengakibatkan banyak pekerja informal terlewat.
"Pelajaran dari covid-19 kemarin, pekerja informal tidak mendapat subsidi upah karena pemerintah masih berbasis data BPJS Ketenagakerjaan," jelasnya.
Baca Juga: Jaga Daya Beli, Pemerintah Tetap Kucurkan Insentif Fiskal pada 2026
Terkait rencana perpanjangan diskon tarif listrik, Bhima menyambut baik langkah tersebut, namun menilai golongan penerima perlu diperluas hingga 2.200 VA.
Pasalnya, golongan 2.200 VA banyak digunakan di rumah kontrakan dan kos-kosan karyawan kelas menengah, di mana mereka juga perlu insentif listrik agar uangnya bisa dialihkan ke konsumsi lain seperti pakaian, sepatu, atau membayar cicilan.
Ia menambahkan, diskon tarif listrik memang bisa membantu perputaran uang di sektor UMKM, namun tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada kuartal III-2025.
Oleh karena, Celios mengusulkan insentif lainnya berupa penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 9% pada Juni 2025.
Menurutnya, penurunan tarif PPN ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk membeli barang dan jasa.
Di sisi lain, pendapatan negara dari skema penurunan tarif PPN justru akan positif karena dikompensasi oleh kenaikan penerimaan lain seoerti dari setoran PPh Badan dan PPh 21 Karyawan.
Tidak hanya itu, industri pengolahan khususnya yang berorientasi pasar dalam negeri akan mendapat manfaat terbesar dari pemangkasan tarif PPN. Pasalnya, sebesar 25% porsi penerimaan pajak berasal dari sumbangan industri pengolahan.
Selain itu, Bhima mendorong kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari saat ini Rp 54 juta per tahun (Rp 4,5 juta per bulan) menjadi Rp 7 juta hingga Rp 8 juta per bulan. Kenaikan ini, menurutnya, penting untuk meningkatkan penghasilan yang dapat dibelanjakan, terutama di kalangan kelas menengah.
"Idealnya PTKP bisa di naikkan jadi Rp 7 juta hingga Rp 8 juta per bulan karena kelas menengah juga butuh stimulus perpajakan," katanya.