Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun 2025, pemerintah akan menggelontorkan enam jenis insentif yang rencananya mulai berlaku pada 5 Juni 2025.
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, mendukung sektor transportasi dan energi, serta meringankan beban para pekerja berpenghasilan rendah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa enam jenis insentif tersebut masih menunggu regulasi di tingkat kementerian masing-masing.
"Jadi kita akan siapkan ada enam paket, sekarang masing-masing kementerian mempersiapkan regulasinya. Kemarin saya sudah laporkan ke pak Presiden, sehingga mudah-mudahan ini segera diumumkan kalau regulasi di masing-masing kementeriannya selesai," ujar Airlangga kepada awak media belum lama ini.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Subsidi Upah untuk Pekerja Bergaji di Bawah Rp 3,5 Juta
Adapun enam insentif yang akan digelontorkan pemerintah adalah sebagai berikut.
Pertama, pemerintah akan memberikan subsidi upah bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan, serta guru honorer untuk menjaga daya beli dan mendorong konsumsi rumah tangga.
Kedua, untuk mendukung sektor pariwisata dan transportasi udara, pemerintah akan memberikan diskon transportasi yang mencakup kereta api, diskon tiket pesawat, serta tarif angkutan laut selama masa libur sekolah.
Airlangga berharap pemberian insentif ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal II dan III tahun ini.
"Mirip seperti kemarin hari-hari besar. Ini kaitannya kan dengan masa libur anak-anak. Jadi kita kan lebaran tahun baru kemarin kan terlalu dekat. Itu di kuartal I, sehingga kita perlu mendukung untuk yang kuartal II dan II," kata Airlangga.
Ketiga, pemerintah akan memberikan diskon tarif tol dengan target sekitar 110 juta pengendara dan berlaku mulai Juni-Juli 2025.
Keempat, rumah tangga dengan daya maksimal 1.300 VA akan mendapatkan diskon tarif listrik 50% selama Juni-Juli 2025, sebagai langkah meringankan pengeluaran rutin masyarakat.
Kelima, pemerintah juga menambah alokasi bantuan sosial berupa kartu sembako dan bantuan pangan dengan target 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk bulan Juni-Juli 2025.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, bantuan ini merupakan bagian dari stimulus yang tengah dibahas bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan.
Baca Juga: Pemerintah akan Beri Diskon PPN Pembelian Tiket Pesawat, Berlaku Mulai 5 Juni 2025
Bantuan pangan akan diberikan dalam bentuk sembako, dengan cakupan hingga 18 juta keluarga penerima manfaat (KPM) berdasarkan Data Tunggal Terpadu Sosial Ekonomi (DTSN).
"Rencananya bantuan ini akan berlangsung selama Juni hingga Juli 2025. Jumlah bantuan akan mengikuti skema sebelumnya, seperti beras 10 kg per KPM," jelas Arief.
Keenam, pemerintah juga akan memberikan keringanan berupa diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) bagi pekerja di sektor padat karya.
Belum Cukup Dorang Konsumsi Masyarakat
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira turut menyoroti efektivitas kebijakan subsidi upah dan insentif fiskal lain yang dirancang pemerintah menjelang kuartal III-2025.
Menurut Bhima, besaran subsidi upah menjadi penentu utama daya dorong terhadap konsumsi rumah tangga.
"Ini tergantung besaran subsidi upah nya, idealnya 30% atau setara Rp 1 juta untuk pekerja gaji 3,5 juta. Jika subsidi upahnya dibawah Rp 600 ribu per bulan maka daya dorong ke konsumsi rumah tangga bakal terbatas," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (25/5).
Bhima juga menegaskan pentingnya kebijakan subsidi upah dibarengi dengan pengendalian harga kebutuhan pokok dan transportasi. Tanpa itu, daya beli pekerja tetap tergerus inflasi.
Lebih lanjut, Bhima mengingatkan bahwa pekerja informal juga harus masuk dalam skema subsidi upah. Ia menilai, selama ini program pemerintah terlalu bergantung pada data BPJS Ketenagakerjaan, yang mengakibatkan banyak pekerja informal terlewat.
"Pelajaran dari covid-19 kemarin, pekerja informal tidak mendapat subsidi upah karena pemerintah masih berbasis data BPJS Ketenagakerjaan," jelasnya.
Baca Juga: Jaga Daya Beli, Pemerintah Tetap Kucurkan Insentif Fiskal pada 2026
Terkait rencana perpanjangan diskon tarif listrik, Bhima menyambut baik langkah tersebut, namun menilai golongan penerima perlu diperluas hingga 2.200 VA.
Pasalnya, golongan 2.200 VA banyak digunakan di rumah kontrakan dan kos-kosan karyawan kelas menengah, di mana mereka juga perlu insentif listrik agar uangnya bisa dialihkan ke konsumsi lain seperti pakaian, sepatu, atau membayar cicilan.
Ia menambahkan, diskon tarif listrik memang bisa membantu perputaran uang di sektor UMKM, namun tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada kuartal III-2025.
Oleh karena, Celios mengusulkan insentif lainnya berupa penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 9% pada Juni 2025.
Menurutnya, penurunan tarif PPN ini bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk membeli barang dan jasa.
Di sisi lain, pendapatan negara dari skema penurunan tarif PPN justru akan positif karena dikompensasi oleh kenaikan penerimaan lain seoerti dari setoran PPh Badan dan PPh 21 Karyawan.
Tidak hanya itu, industri pengolahan khususnya yang berorientasi pasar dalam negeri akan mendapat manfaat terbesar dari pemangkasan tarif PPN. Pasalnya, sebesar 25% porsi penerimaan pajak berasal dari sumbangan industri pengolahan.
Selain itu, Bhima mendorong kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari saat ini Rp 54 juta per tahun (Rp 4,5 juta per bulan) menjadi Rp 7 juta hingga Rp 8 juta per bulan. Kenaikan ini, menurutnya, penting untuk meningkatkan penghasilan yang dapat dibelanjakan, terutama di kalangan kelas menengah.
"Idealnya PTKP bisa di naikkan jadi Rp 7 juta hingga Rp 8 juta per bulan karena kelas menengah juga butuh stimulus perpajakan," katanya.
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa dampak pemberian insentif tersebut akan berdampak terbatas pada pertumbuhan ekonomi tahun 2025.
Baca Juga: Rayuan Insentif Buat Hilirisasi Batubara
Hal ini berkaca pada pemberian insentif pada kuartal I-2025 yang belum cukup mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5%. Misalnya saja pemberian diskon tarif listrik dan tiket pesawat yang periodenya sangat terbatas.
"Makanya, daya dorong beberapa insentif tersebit tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di kuartal I-2025 di atas 5%," jelas Yusuf.
Yusuf menilai, pemberian insentif mulai Juni 2025 ini sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah tengah mengantisipasi melemahnya daya beli masyarakat.
Yusuf bilang, kebijakan tersebut bukan sekadar stimulus biasa, melainkan respons terhadap tekanan konsumsi domestik yang belum pulih sejak tahun lalu.
Menurutnya, pada kuartal II-2025 ini, nyaris tidak terdapat momen musiman yang biasanya mampu mendongkrak konsumsi rumah tangga. Karena itu, tanpa intervensi pemerintah, potensi perlambatan konsumsi diperkirakan cukup besar.
“Sinyal ini terlihat dari data penjualan ritel yang stagnan. Jadi, paket insentif ini memang terlihat sebagai langkah darurat untuk menjaga agar pertumbuhan ekonomi tidak anjlok lebih dalam,” lanjutnya.
Meski demikian, efektivitas insentif dalam mendongkrak daya beli dinilai akan sangat bergantung pada kecepatan dan ketepatan implementasinya.
Bantuan yang langsung menyasar masyarakat bawah seperti subsidi upah dan bantuan pangan dinilai lebih tepat sasaran. Sementara insentif seperti PPN DTP untuk tiket pesawat disebut cenderung menyasar kelompok menengah ke atas yang daya belinya relatif tidak terlalu tertekan.
Baca Juga: Belum Ada Insentif Baru untuk Dorong Konsumsi
"Jadi, insentif semacam itu bisa tidak terlalu efektif jika tujuannya adalah merangsang konsumsi secara luas," terang Yusuf.
Ia menegaskan bahwa meski paket kebijakan ini dapat membantu menopang konsumsi dalam jangka pendek, hal tersebut tidak cukup kuat untuk mendorong lonjakan konsumsi yang signifikan pada kuartal II dan III tahun ini.
Ia menekankan perlunya perbaikan struktur pendapatan dan iklim usaha untuk mendukung penciptaan lapangan kerja.
“Daya beli masyarakat saat ini sedang mengalami tekanan struktural, bukan sekadar masalah temporer. Kebijakan jangka pendek seperti ini hanya akan menjadi penyangga, bukan solusi jangka panjang,” tutupnya.
Selanjutnya: Pemerintah Targetkan Pencipataan 1,8 Juta Lapangan Kerja Hijau di 2030
Menarik Dibaca: 5 Langkah Cerdas Memulai Menabung di Tahun 2025 yang Bisa Dilakukan Siapa Saja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News