Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
Sayangnya, kondisi keuangan Arpeni kian memburuk, implementasi skema restrukturisasi tak berjalan mulus. Maret 2015, Arpeni sempat meminta penundaan untuk membayar utang yang berasa dari surat berharganya.
Puncaknya pada Februari 2019, ketika Arpeni berniat mengubah skema restrukturisasi dengan mengonversi total sisa utang senilai Rp 6,52 triliun menjadi saham.
Dalam pertimbangannya, Majelis Kasasi menyatakan bahwa sejatinya Arpeni sebagai debitur memang tidak dapat mengubah perjanjian perdamaian, apalagi di luar pengadilan.
Baca Juga: Pemerintah masih kesulitan mengatur kepatuhan pajak e-commerce
Sebagai tambahan, Arpeni telah menggelar pemungutan suara terhadap kreditur mayoritas untuk merevisi perjanjian perdamaian pada 7 Februari 2019. Hasilnya, suara terbanyak menyetujui rencana revisi perjanjian perdamaian
“Perjanjian perdamaian pada 1 November 2011 telah bersifat final dan berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak dapat diubah dengan alasan apapun,” lanjut Ketua Majelis Syamsul.
Sedangkan atas putusan Mahkamah Agung tersebut, Senin (4/11) Bursa Efek Indonesia juga telah menghentikan sementara perdagangan saham Arpeni. Penghentian perdagangan sementara ini bakal berlaku hingga adanya pengumuman selanjutnya dari Bursa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News