Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pada tahun 2026 akan ada beberapa kebijakan yang diperkirakan akan menambah beban masyarakat.
Kebijakan yang dimaksud adalah kenaikan iuran BPJS Kesehatan dan implementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
Lantas, apakah dua kebijakan tersebut akan semakin menggerus daya beli masyarakat?
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan serta implementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) hanya memberi dampak sementara terhadap inflasi (one-off shock) tanpa menciptakan spiral harga berulang.
Baca Juga: Cukai Minuman Berpemanis Bergulir Lagi, Emiten Harus Siap Diversifikasi
Berdasarkan perhitungan dengan struktur bobot Indeks Harga Konsumen (IHK) terbaru, tambahan inflasi dari kedua kebijakan ini diperkirakan hanya sekitar 0,11–0,22 poin persentase (ppt).
Josua menjelaskan, beban kenaikan iuran BPJS terutama dirasakan oleh peserta non-Penerima Bantuan Iuran (PBI), yakni kelas menengah peserta Kelas I dan II.
Shock biaya tetap ini biasanya direspons dengan mengurangi pengeluaran diskresi seperti rekreasi, fesyen, atau layanan non-esensial, bukan kebutuhan pokok.
Menurutnya, dikarenakan iuran PBI tetap ditanggung pemerintah, konsumsi kelompok berpendapatan rendah relatif tidak terdampak.
"Dengan kata lain, efeknya lebih berupa rekomposisi konsumsi pada kelas menengah daripada koreksi tajam konsumsi agregat," ujar Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (27/8).
Sementara itu, untuk cukai MBDK, dampaknya muncul dari kenaikan harga relatif minuman berpemanis. Namun karena porsinya kecil dalam keranjang konsumsi, kehilangan daya beli agregat juga minimal.
Literatur internasional menunjukkan elastisitas harga minuman manis berkisar 0,8 hingga 1,2, artinya kenaikan harga 10% bisa menurunkan konsumsi 8–12%.
Josua menambahkan, dampak makro dari perilaku ini justru bersifat substitusi, di mana konsumen beralih ke air kemasan atau minuman rendah gula, sehingga belanja tidak hilang dan hanya bergeser.
Dari sisi produsen, respons yang lazim adalah reformulasi produk (mengurangi kadar gula) dan penyesuaian kemasan untuk menahan penurunan volume.
Mekanisme ini membuat tekanan inflasi lanjutan mereda setelah fase awal.
Josua menekankan bahwa kombinasi kedua kebijakan ini tidak mengubah prospek inflasi tahunan yang tetap berada dalam sasaran Bank Indonesia.
Dari sisi pertumbuhan, pengaruhnya ke konsumsi rumah tangga diperkirakan netral atau sedikit negatif pada awal implementasi, lalu menormal ketika rumah tangga melakukan penyesuaian pola belanja.
"Dengan kata lain, pada tahun depan efeknya lebih berupa koreksi komposisi konsumsi dan lonjakan harga yang sekali lewat, bukan pelemahan berkepanjangan daya beli maupun lonjakan inflasi yang persisten," jelasnya.
Josua mengatakan, konsumsi masyarakat terdampak ringan dan temporer, dengan penyesuaian terutama pada belanja diskresi kelas menengah dan peralihan dari minuman berpemanis ke alternatif yang lebih murah atau lebih sehat.
"Dalam kerangka kebijakan yang konsisten dan komunikasi yang jelas, stabilitas harga dan daya beli agregat tetap terjaga," pungkasnya.
Baca Juga: Cukai MBDK akan Diterapkan pada 2026, Ini Tanggapan Mayora Indah (MYOR)
Selanjutnya: Singapura Perketat Razia, Lebih 3.700 Orang Terjaring Kasus Vaping dalam 3 Bulan
Menarik Dibaca: Investasi Tak Bisa Instan, Perjalanan Ini Bisa Jadi Inspirasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News