kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

RUU KUP, dunia usaha masih diberatkan


Rabu, 06 Desember 2017 / 21:25 WIB
RUU KUP, dunia usaha masih diberatkan


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ditjen Pajak menilai, skema keberatan yang berlaku dalam UU KUP saat ini memiliki plus dan minusnya sendiri. Pemerintah sendiri ingin mengubah ketentuan ini dalam RUU KUP yang baru namun hal ini dirasa memberatkan oleh pengusaha.

“Yang sekarang pun sebenarnya ada plus minusnya. Sekarang, kami suspend dulu, penagihannya ditunda dulu, lalu pada saat (keberatannya) kalah wajib pajak (WP) kena sanksi 50%, pada saat kalah di banding kena 100%. Itu juga bukan hal yang ringan, meskipun ditunda,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I Arif Yanuar di Gedung DPR RI, Rabu (6/12).

Ia melanjutkan, dalam RUU KUP nanti, memang Ditjen Pajak akan menagih dan WP harus langsung bayar, tetapi ada sisi positifnya juga. “Seandainya menang, dapat imbalan bunga 2%, tetapi kalau terlambat membayar 2% juga negara mengenakan sanksi. Kalau sekarang keberatan kalah 50% lho tambahannya. Banding kalah kena 100%,” jelasnya.

Tak hanya soal, skema keberatan, jika melihat RUU KUP secara keseluruhan, ada pula perbaikan di mekanisme pemeriksaan di mana terhadap tahun pajak yang sama memungkinkan WP diperiksa berulang. Hal ini dianggap tidak memberikan kepastian kepada WP.

“Pemeriksaan bisa berulang karena pemeriksaan harus dimulai pada saat DJP memiliki data. Kalau memiliki data periksa. Sudah terkonfirmasi, sudah masuk SPT ya tak masalah, belum masuk SPT kami periksa,” kata Arif.

Ia mengatakan, lewat RUU KUP ini, pemerintah meyakini bahwa ada pola pemeriksaan yang harus diubah di mana datanya harus lebih konkret. “Jadi kalau dilihat keseluruhan KUP sendiri memang perubahannya bukan hanya tata cara penagihannya melainkan pemeriksaannya juga sudah berubah,” ucap dia.

Ketua Hipmi Tax Center Ajib Hamdani mengatakan, hal ini tidak cocok dengan filosofi pajak di Indonesia yang self assessment di mana WP dianggap benar sampai masa daluwarsa pajak selesai atau ketika sebelum masa daluwarsa pajak selesai ditemukan data atau laporan WP tidak benar.

“Dalam RUU yang baru, kita bisa diberikan SKPKB lagi sehingga kepastian hukum tidak ada. Padahal kita sudah anggap bayar pajak dengan benar, lalu misalnya dianggap salah oleh fiskus dan dikeluarkan SKPKB, kemudian dikeluarkan lagi. Anda bisa bayangkan sampai kapan ini kita punya kepastian hukum?” ujarnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×