kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Rancangan RUU KUP masih government-centered


Kamis, 05 Oktober 2017 / 21:59 WIB
 Rancangan RUU KUP masih government-centered


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Komisi XI DPR RI hari ini mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para ahli soal Revisi Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Kamis (10/5). Sebelumnya, Komisi XI melakukan rapat terkait hal yang sama dengan Apindo, Kadin, dan Hipmi.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, kesan dalam rancangan RUU KUP ini masih government-centered atau memihak pada pemerintah.

Hal ini terlihat di antaranya selain dari rancangan dari RUU yang belum mencakup sanksi bagi fiskus yang melakukan pelanggaran terhadap UU, rancangan juga belum diikuti penghormatan hak WP yang lebih eksplisit, misalnya percepatan penyelesaian pemeriksaan, keberatan, dan permohonan lainnya.

“Rancangan uu ini masih government-centered. Belum perhatikan hak wajib pajak. Hak ini harus dijamin oleh UU,” katanya di Gedung DPR RI, Kamis (5/10).

Dengan demikian dalam hal penyelesaian keberatan, perlu dicari jalan tengahnya karena mewajibkan pembayaran tanpa standar pemeriksaan yang jelas akan sangat mengganggu cashflow. Adapun jangka waktu penyelesaian keberatan sebaiknya diperpendek menjadi enam bulan.

Selain itu, menurut Yustinus, sudah saatnya Pasal 17 KUP ditinjau lagi dengan memperpendek jangka waktu restitusi dengan menyederhanakan pemeriksaan lebih bayar dan menghilangkan beban pemeriksaan yang tidak perlu bagi fiskus.

“Hak WP untuk mendapatkan imbalan bunga sebaiknya juga dijamin dan dipermudah,” ujarnya.

Yustinus memaparkan, penyelesaian pengembalian pajak/restitusi di Indonesia termasuk yang terlama di dunia. Jika rerata negara OECD membutuhkan maksimal 4-5 bulan menyelesaikan restitusi, Indonesia perlu 12 bulan.

Hal selanjutnya adalah kerumitan regulasi. Menurutnya, pengaturan yang detail di satu sisi lebih menjamin kepastian hukum, namun di sisi lain bisa menciptakan kerumitan dan ketidakpastian baru.

“Kami harap regulasi lebih sederhana dan administrasi yang sederhana, ada 15.000 aturan pajak dari UU sampai Surat Dirjen. Ini tidak semua wajib pajak tahu dan ini pekerjaan rumah terbesar kita,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×