Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Upaya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tengah menggodok revisi Undang-Undang No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) memicu sorotan dari kalangan ekonom.
Asal tahu saja, revisi ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), khususnya terkait anggaran yang mengharuskan LPS untuk melaporkan anggarannya ke DPR, tak lagi ke Kementerian Keuangan.
Namun, di luar itu DPR dalam proses revisi justru menyisipkan sejumlah pasal baru yang dinilai kontroversial, yang bisa menguatkan dan memperlebar kewenangannya terhadap tiga lembaga strategis yakni Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan LPS.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Pertanyakan Alasan DPR Kembali Revisi UU P2SK
Dalam draft revisi yang diterima Kontan, DPR tak lagi sekadar berperan memberi persetujuan atas usulan presiden, melainkan bisa melakukan evaluasi langsung terhadap Dewan Gubernur BI, Dewan Komisioner OJK, dan Dewan Komisioner LPS. Hasil evaluasi itu bahkan disebutkan dapat menjadi dasar pemberhentian pejabat terkait.
Selain itu, DPR juga menambah fungsi BI. Jika sebelumnya peran BI lebih terbatas menjaga stabilitas rupiah dan sistem keuangan, kini bank sentral juga ditugasi untuk bersinergi langsung dengan kebijakan pemerintah, termasuk sektor fiskal dan penciptaan lapangan.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, menilai perubahan ini jelas berpotensi mengurangi independensi ketiga lembaga regulator tersebut.
"Revisi UU P2SK yang memberi DPR kewenangan mengevaluasi dan merekomendasikan hingga pada pencopotan pimpinan BI, OJK, dan LPS jelas mengurangi independensi regulator," ungkap Rizal kepada Kontan, Selasa (16/9).
Menurutnya, bukti empiris menunjukkan independensi bank sentral penting dalam menjaga stabilitas ekonomi. Indonesia, kata Rizal, berhasil menurunkan inflasi dari 5,95% pada 2022 menjadi 2,6% pada 2023 karena BI dapat menjalankan mandatnya secara independen.
Namun, jika regulator mudah diintervensi politik, risiko kebijakan jangka pendek akan meningkat. “Ini bisa menambah tekanan pada rupiah, yang sempat melemah ke Rp 16.200 per dolar AS pada Agustus 2025,” ujarnya.
Rizal menekankan bahwa inti masalah ada pada tata kelola. “Revisi UU P2SK berpotensi merusak independensi regulator. Tanpa disiplin fiskal dan kelembagaan yang kuat, stabilitas rupiah dan kredibilitas ekonomi Indonesia khawatir semakin rapuh,” imbuhnya.
Di sisi lain, Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menilai rencana revisi tersebut wajar sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR.
"Untuk P2SK, kalau menurut saya sih ini aturannya masih sejalan ya karena DPR sebagai representatif dari masyarakat, dari rakyat ini juga berhak untuk mengetahui perkembangan yang ada, mengawasi juga. Jadi ya kalau menurut saya sih sah-sah aja sih aturannya," kata Myrdal.
Baca Juga: RUU P2SK Dikritik, Ekonom Sebut Berpotensi Seret BI Kembali ke Pola Orde Baru
Selanjutnya: Sebanyak 124 Ribu Pekerja Asing Sudah Terdaftar di BPJS Kesehatan
Menarik Dibaca: Riset OCBC, Generasi Muda yang Investasi Emas Batangan Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News