Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas sektor manufaktur Indonesia masih berada di zona kontraksi pada Juli 2025, meskipun menunjukkan perbaikan dibanding bulan sebelumnya.
Berdasarkan laporan S&P Global yang dirilis Jumat (1/8), Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat sebesar 49,2, naik dari posisi 46,9 pada Juni.
Kenaikan ini mencerminkan perlambatan laju kontraksi, namun indeks masih berada di bawah ambang batas netral 50 yang memisahkan ekspansi dan kontraksi.
Baca Juga: PMI Manufaktur Lesu Jadi Sinyal Negatif Emiten untuk Jangka Pendek
Dengan hasil ini, sektor manufaktur Indonesia telah berada di fase kontraksi selama empat bulan berturut-turut sejak April 2025.
Ekonom S&P Global Market Intelligence Usamah Bhatti menyebutkan bahwa penurunan output dan permintaan baru masih berlanjut, meski tidak sedalam bulan sebelumnya.
Permintaan ekspor baru juga kembali melemah, sementara perusahaan masih dalam mode pengetatan, ditandai dengan pemangkasan tenaga kerja dan pengurangan aktivitas pembelian.
"Data survei bulan Juli kembali menunjukkan indikator negatif pada kesehatan perekonomian sektor manufaktur Indonesia. Penurunan output dan permintaan baru terus berlanjut di awal kuartal ketiga, walaupun dengan laju yang lebih moderat dibandingkan Juni," kata Usamah dalam keterangan resminya.
Lebih lanjut, Usamah mencatat bahwa tekanan biaya semakin meningkat sejak awal semester II-2025.
Baca Juga: Kemenkeu Masih Andalkan Sektor Manufaktur dalam Penerimaan Perpajakan di 2026
Inflasi biaya input tercatat sebagai yang tertinggi dalam empat bulan terakhir, dipicu oleh kenaikan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar.
Meskipun sebagian beban biaya ditransfer ke konsumen, laju inflasi output tetap berada dalam kisaran moderat.
Tak hanya itu, tingkat optimisme pelaku usaha manufaktur juga merosot tajam pada Juli.
"Kepercayaan diri menghadapi tahun mendatang menurun drastis, dengan tingkat optimisme berada di level terendah sepanjang sejarah survei," ujar Usamah.
Meski sebagian perusahaan berharap kondisi ekonomi membaik dan harga bahan baku menurun, kekhawatiran terhadap kenaikan tarif dari Amerika Serikat serta melemahnya daya beli domestik menjadi faktor utama yang membayangi prospek volume produksi tahun depan.
Selanjutnya: Telkom (TLKM) Kantongi Laba Bersih Rp 10,97 Triliun di Semester I-2025, Turun 6,7%
Menarik Dibaca: Tak Perlu ke Cabang, Berikut Cara Pengajukan Kartu Kredit BRI Secara Online
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News