kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.980.000   15.000   0,76%
  • USD/IDR 16.810   20,00   0,12%
  • IDX 6.446   7,70   0,12%
  • KOMPAS100 927   0,91   0,10%
  • LQ45 722   -0,90   -0,12%
  • ISSI 206   1,64   0,80%
  • IDX30 375   -0,74   -0,20%
  • IDXHIDIV20 453   -1,23   -0,27%
  • IDX80 105   0,08   0,08%
  • IDXV30 111   0,28   0,25%
  • IDXQ30 123   -0,06   -0,05%

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akan Dipengaruhi Hasil Negosiasi Tarif Trump


Senin, 21 April 2025 / 20:01 WIB
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Akan Dipengaruhi Hasil Negosiasi Tarif Trump
ILUSTRASI. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga saat Negosiasi dan Diplomasi Perdagangan Indonesia-Amerika Serikat, di Washington DC, AS, Jumat (18/4/2025). Indonesia negara yang pertama diterima negosiasi Tarif Impor, AS memberikan respons yang positif terhadap usulan-usulan Indonesia tersebut sehingga dalam 60 hari ke depan, dan akan menindaklanjuti pembahasan di tingkat teknis guna mencapai solusi yang konstruktif dan saling menguntungkan bagi kedua negara. (Humas Menko Perekonomian)


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah Ekonom memiliki sejumlah skenario proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 di tengah memanasnya perang tarif yang diinisiasi kebijakan tarif impor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Pemerintahan Prabowo Subianto sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa mencapai 5,2%. Sementara Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kisaran 4,7%-5,5% di tahun 2025.

Para ekonom menyebut, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025, salah satunya akan dipengaruhi hasil negosiasi tarif antara Pemerintah Indonesia dengan AS selama 60 hari ke depan ini.

Kepala Makroekonomi dan Keuangan Indef Muhammad Rizal Taufikurahman mengatakan, jika tarif perdagangan antara Indonesia dan AS ditekan menjadi 0%, ini akan menjadi angin segar bagi ekspor Indonesia. Produk-produk unggulan seperti tekstil, furnitur, dan komponen elektronik akan memperoleh daya saing harga yang jauh lebih kuat di pasar AS. 

Alhasil, eksportir lokal akan terdorong untuk meningkatkan kapasitas produksi dan investasi, sehingga menciptakan efek berganda terhadap tenaga kerja dan pendapatan nasional. Namun, Rizal menyebut, manfaat maksimal hanya akan diraih jika kebijakan industri dan infrastruktur mendukung ekspansi sektor ekspor dengan meningkatkan devisa dan nilai tambah secara bersamaan.

"Secara makro, kondisi ini akan memperkuat neraca perdagangan dan bisa menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Dengan asumsi variabel lain stabil seperti konsumsi domestik dan investasi tetap tumbuh, maka pertumbuhan ekonomi nasional akan berpeluang terdongkrak naik pada tahun ini, di atas angka 5,0%," ungkap Rizal kepada Kontan, Senin (21/4).

Baca Juga: Ekonom: Perluasan Pasar Perlu Dilakukan untuk Merespons Kebijakan Tarif AS

Sebaliknya, jika negosiasi gagal dan tarif tinggi diberlakukan sebesar total 30% plus 10%, maka dampaknya akan sangat berat bagi kinerja ekspor Indonesia.

Banyak pelaku industri, terutama yang tergantung pada pasar AS, akan mengalami penurunan permintaan secara drastis. Hal ini berpotensi menurunkan utilisasi pabrik, memperburuk cash flow perusahaan, dan memicu gelombang PHK di sektor-sektor padat karya.

Alhasil, Rizal menyebut, dampak makroekonominya adalah pada pelemahan ekspor sebagai komponen utama PDB. Selain itu, tekanan terhadap rupiah dan neraca berjalan bisa meningkat akibat defisit dagang. 

"Dalam skenario ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan akan terkoreksi sekitar angka di Bawah 5,0%. Tanpa kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif serta strategi diversifikasi pasar yang agresif, tekanan ini bisa menjadi lebih dalam," terang Rizal.

Di sisi lain, JP Morgan memproyeksikan, Trump akan menetapkan pengenaan tarif rata-rata sebesar 20% pada negara-negara yang bernegosiasi dengan AS. Sehingga jika skenario yang terjadi Rizal memperkirakan beban tarif tetap akan mengurangi daya saing harga produk Indonesia di pasar AS. 

"Dalam kondisi seperti ini, ekspor Indonesia tetap akan tertekan, meskipun tidak terlalu ekstrem. Pertumbuhan ekonomi nasional kemungkinan akan bertahan di kisaran 5,0%, sedikit lebih rendah dari baseline," ungkap Rizal.

Lebih lanjut menurut Rizal, untuk memitigasi dampak ini, Indonesia perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor, memperkuat kerja sama dagang regional, dan memberikan insentif bagi industri untuk naik kelas dalam rantai nilai global.

Sementara itu, Ekonom Kepala Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menyampaikan, akan cukup sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah di angka 5,2% pada tahun 2025. 

"Tantangan Indonesia saat ini adalah global demand yang pada akhirnya juga akan berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi domestik. Proyeksinya Pertumbuhan ekonomi tahun ini akan di kisaran angka 4,8%," ungkapnya kepada Kontan. 

Baca Juga: Kemendag Respons Ancaman China Terhadap Negara Lain Terkait Negosiasi Tarif Trump

Di sisi lain, kondisi domestik saat ini juga mengkhawatirkan, tidak hanya dari deflasi di bulan Februari tetapi juga penurunan dari indeks keyakinan konsumen selama tiga bulan berturut-turut. Dari bulan Januari di 127,2, kemudian di bulan Februari turun ke 126,4 dan bulan Maret bahkan turun signifikan ke 121,1. 

Padahal di bulan Februari dan Maret harusnya kepercayaan konsumen berada dalam peak-nya karena berkaitan momen Ramadhan dan Lebaran, tetapi yang terjadi malah jatuh terus karena masyarakat mungkin melihat kondisi ekonomi begini tidak terlalu baik, sehingga mengerem konsumsi untuk bisa bertahan di bulan-bulan ke depannya.

"Pemerintah perlu memberikan stimulus-stimulus yang sifatnya langsung ke disposable income," kata Fithrah.

Selanjutnya: Ulang Tahun ke-62, Taspen Perkuat Komitmen untuk Kesejahteraan Pensiunan

Menarik Dibaca: 3 Jurus Jitu Finansial untuk Perempuan ala Astra Life

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×