Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal menggelontorkan anggaran Rp 10,8 triliun untuk paket stimulus guna mendorong aktivitas ekonomi pada kuartal III-2025.
Namun efektivitas kebijakan ini dipertanyakan, mengingat stimulus serupa pada kuartal sebelumnya tak mampu memberikan dorongan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sebagai catatan, pada kuartal II-2025, pemerintah juga telah menyalurkan dana sebesar Rp 24,4 triliun untuk berbagai insentif. Seperti diskon tiket pesawat dan tol, kampanye belanja seperti Harbolnas dan EPIC Sales, subsidi perjalanan Idul Fitri, diskon listrik, insentif pajak properti dan kendaraan listrik, insentif PPh sektor padat karya, serta bantuan subsidi upah (BSU).
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai, stimulus tersebut hanya berdampak sementara dan bersifat jangka pendek.
“Penyesuaian upah dan bonus liburan memang mendukung pekerja formal, sementara bansos diarahkan ke rumah tangga rentan. Namun tantangan struktural seperti produktivitas rendah, informalitas tinggi, dan perlindungan sosial yang terbatas bagi pekerja informal masih belum teratasi,” jelas Riefky, Senin (4/8/2025).
Baca Juga: Sri Mulyani Siapkan Paket Stimulus Ekonomi Rp 10,8 Triliun pada Kuartal III-2025
Riefky menambahkan, berbagai kebijakan tersebut memang memberikan bantuan sementara bagi jutaan rumah tangga. Namun sifatnya tetap paliatif dan belum menjawab akar persoalan. Ketergantungan pada subsidi, diskon, dan transfer tunai langsung belum dibarengi dengan upaya menyelesaikan kendala struktural yang lebih dalam.
“Tantangan seperti produktivitas tenaga kerja yang rendah, stagnasi upah, dan keterbatasan jaminan sosial bagi pekerja informal terus mengikis ketahanan rumah tangga dalam jangka panjang,” ujarnya.
Riefky juga menyoroti berbagai program stimulus tidak menyentuh permasalahan mendasar seperti praktik rente, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum. Menurutnya, insentif dan subsidi tidak bisa menggantikan kepastian hukum dan efisiensi birokrasi yang dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat.
“Lingkungan bisnis yang kondusif sangat krusial agar perusahaan bisa bertumbuh, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan pekerjaan formal yang berkualitas. Jenis pekerjaan ini tak hanya memberi penghasilan stabil, tapi juga membuka akses ke jaminan sosial dan standar hidup yang lebih baik,” kata dia.
Riefky menyarankan, untuk mengatasi penurunan daya beli dan mengembalikan kepercayaan pelaku usaha, reformasi struktural harus menjadi prioritas utama. Tanpa itu, kebijakan insentif hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak berkelanjutan.
“Tidak ada bentuk subsidi atau insentif apa pun yang bisa menggantikan pentingnya reformasi mendasar dalam ekonomi kita,” tandas Riefky.
Baca Juga: Stimulus Seperti Diskon Transportasi dan BSU Turut Dorong Ekonomi Kuartal II 2025
Selanjutnya: BNI Optimistis Capai Target Penjualan SBR014 Sebesar Rp 800 Miliar
Menarik Dibaca: Jangan Tergiur Promo Murah! Ini 4 Tips Menghindari Penipuan Agen Perjalanan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News