Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Meski Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga acuan sebanyak tiga kali dengan total penurunan sebesar 75 basis poin dan melonggarkan likuiditas melalui pelepasan outstanding SRBI, penyaluran kredit oleh perbankan masih menunjukkan perlambatan.
Perlambatan ini terjadi karena dunia usaha masih menahan ekspansi akibat berbagai faktor non moneter. Akibatnya penyaluran kredit perbankan hanya tumbuh 7,6% pada Juni 2025, melambat dibanding 9,6% pada Januari 2025.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Sarimin, menilai bahwa penurunan suku bunga tidak cukup untuk menggerakkan perekonomian secara signifikan.
“Menurunkan suku bunga adalah kebijakan moneter untuk mempercepat putaran ekonomi. Tapi, ada banyak faktor non-moneter yang juga krusial seperti kepastian hukum, kebijakan fiskal, dan kebijakan sektoral. Hanya mengandalkan suku bunga tidak akan cukup untuk menstimulasi ekonomi, it takes two to tango,” ujarnya kepada KONTAN, Minggu (27/7).
Baca Juga: Outstanding SRBI Terus Menyusut, Sisa Rp 770 Triliun per Juni 2025
Ia menekankan bahwa banyak kebijakan fiskal dan sektoral belum saling bersinergi, sementara kepastian hukum pun masih menjadi kendala.
“Ini menjadi hambatan struktural yang memperlambat respons sektor riil terhadap pelonggaran moneter,” tambahnya.
Menurut Wijayanto, untuk sisa tahun ini, ruang kebijakan fiskal menjadi kunci. Belanja APBN harus lebih difokuskan untuk program-program yang mendorong daya beli dan penciptaan lapangan kerja. Insentif ekonomi seperti yang pernah dilakukan pada Januari–Februari dan Juni–Juli perlu diaktifkan kembali.
"Jika memungkinkan, realisasi rencana investasi, termasuk oleh Danantara, perlu dipercepat realisasinya,” tegasnya.
Senada dengan itu, Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia, Banjaran Surya Indrastomo, menilai bahwa BI telah berada dalam posisi yang pro-pertumbuhan (pro-growth), terlihat dari kebijakan pelonggaran suku bunga serta penyediaan likuiditas ke perbankan.
“Saya rasa BI pasti melihat secara komprehensif situasi perekonomian. Stabilitas tetap jadi perhatian—menjaga aliran modal, kestabilan kurs, dan pengendalian inflasi. Tapi amanat UU P2SK juga memberi tanggung jawab baru kepada BI untuk mendukung pertumbuhan, baik lewat suku bunga, pembelian SBN di pasar sekunder, maupun KLM,” kata Banjaran.
Baca Juga: Ini Penyebab UMKM Indonesia Sulit Berkembang dan Kredit Macet Terus Meningkat
Ia menambahkan bahwa BI masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga setidaknya satu kali lagi, kemungkinan pada akhir kuartal III atau awal kuartal IV 2025. Namun, waktu menjadi faktor penting, mengingat industri dinilai masih wait and see terhadap realisasi belanja pemerintah.
"Jadi fiskal harus bergerak lebih dulu. Ketika sektor manufaktur dan usaha mulai bergerak, itu waktu paling pas untuk dorong pembiayaan. Saat permintaan tercipta, pembiayaan bisa masuk sebagai respons terhadap potensi tersebut,” jelasnya.
Dengan demikian, kedua ekonom sepakat bahwa selain pelonggaran moneter, sinergi antar kebijakan, terutama antara fiskal dan sektoral, serta kepastian hukum menjadi faktor penting untuk mendorong ekspansi dunia usaha dan menggerakkan ekonomi di sisa tahun ini.
Selanjutnya: Ramai Surat Cinta dari DJP, Inikah Bukti Otoritas Kejar Target Pajak 2025?
Menarik Dibaca: Makna Lagu Terbuang Dalam Waktu dari Barasuara, Soundtrack Film Sore
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News