Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Calon Presiden Prabowo Subianto dan Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjanji akan mendirikan Badan Penerimaan Negara (BPN) usai dilantik.
Pasangan tersebut meyakini pembentukan PBN bisa meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 23%.
Pembentukan BPN ini juga menjadi salah satu program yang tertuang dalam 8 Program Hasil Terbaik Cepat yang diusung Prabowo-Gibran.
Baca Juga: Tingkatkan Rasio Pajak, Pemerintahan Baru Harus Berani Buru Pajak Orang Kaya RI
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memandang bahwa pembentukan BPN tidak akan mampu meningkatkan penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak.
"Selama kampanye (capres-cawapres) pun saya tidak pernah mendapatkan jawaban yang meyakinkan caranya pembentukan BPN dapat meningkatkan penerimaan pajak kita," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (19/2).
Oleh karena itu, dirinya masih mempertanyakan bagaimana mekanisme BPN yang digadang-gadang bisa meningkatkan penerimaan negara. "Saya tetap kekeh berpendapat kalau pembentukan BPN tidak akan mampu mengerek tax ratio kita," katanya.
Baca Juga: Ekonomi Global Tak Menentu, DJP Cermati Setoran Wajib Pajak Besar di 2024
Selain itu, dirinya juga meyakini bahwa pembentukan BPN juga belum tentu bisa memburu para ekonomi bayangan atau shadow economy yang selama ini merugikan penerimaan negara.
"Harusnya ditangani aparat penegak hukum (APH) dulu, baru otoritas pajak masuk. Kalau otoritas pajak masuk paling depan, tidak akan berani mereka. Jadi, tidak ada kaitan dengan BPN," terang Fajry.
Sebelumnya, Fajry juga menilai bahwa hadirnya sistem pajak canggih bernama Core Tax System juga membuat pembentukan BPN menjadi kurang relevan.
"DJP kini memiliki PSIAP yang akan mengoptimalisasi dan mengurangi kebutuhan penggunaan pegawai. Jadi, isu pembentukan BPN kini menjadi kurang relevan dan kurang urgent," kata Fajry beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kenaikan Utang Pemerintah Tak Sebanding Peningkatan Tax Ratio
Sependapat, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, proses pembentukan BPN jelas membutuhkan waktu yang lama ini. Hal ini dikarenakan bukan hanya persoalan pembentukan badan baru saja.
"Tapi terkait dengan reorganisasi internal Kemenkeu, kemudian ada masalah ego sektoral yang mungkin muncul antara lembaga di bawah Kemenkeu," terang Bhima.
Apalagi, kata Bhima, pembentukan BPN akan menelan biaya yang lebih besar.
"Soal anggaran untuk pendirian badan baru juga perlu dikaji lagi. Bentuk badan baru pastinya mahal apalagi BPN yang bakal diisi Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai," imbuhnya.
Baca Juga: Dongkrak Rasio Pajak Demi Penuhi Program Makan Siang Gratis, Mungkinkah?
Tidak hanya itu, peningkatan rasio pajak tidak hanya bisa tercapai dengan cara mengotak-atik BPN saja, namun pemerintah selanjutnya juga perlu memiliki keberanian politik untuk mengejar pajak orang kaya Indonesia, terutama yang asetnya tersebar dibanyak negara.
"Kemudian kejar pajak komoditas yang dibaliknya ada kelompok penyumbang kampanye saat pemilu. Jadi otak atik administratif hanya setengah jalan, sisanya butuh political will yang kuat," katanya.
Sisi positifnya, menurut Bhima, pembentukan BPN akan membuat kewenangan bakal lebih leluasa untuk membuat kebijakan pajak dan bea cukai.
"Mau perluas basis pajak baru tinggal izin ke presiden. Misalnya mau kejar pajak orang kaya (wealth tax) sampai pajak anomali harga komoditas (windfall profit tax) dan perluasan objek cukai baru bisa kilat," kata Bhima.
Baca Juga: Kinerja Tax Ratio Pemerintahan Jokowi Kalah Dibandingkan SBY dan Megawati
Selain itu, administrasi pajak juga bisa lebih mudah dan ada keleluasaan anggaran untuk belanja IT guna mewujudkan sistem perpajakan yang canggih. Harapannya, kepatuhan pajak juga bisa didorong melalui upaya tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News