Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Hasbi Maulana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sektor manufaktur Indonesia belum menunjukkan pemulihan signifikan. Pada Juli 2025, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia tercatat sebesar 49,2, masih berada di zona kontraksi, meskipun sedikit meningkat dari 46,9 pada bulan sebelumnya.
PMI manufaktur yang berada di bawah level 50 menandakan aktivitas industri masih melambat. Menurut Ekonom Senior Indef, Tauhid Ahmad, kondisi ini mencerminkan lemahnya permintaan domestik serta tekanan dari lonjakan barang impor, terutama dari China.
“Yang pertama, berarti kan barang yang dijual itu lebih kecil dari barang yang dibeli. Artinya, input masih lebih besar dibanding output. Ini menandakan persoalan di pasar domestik,” ujar Tauhid kepada Kontan, Jumat (1/8).
Baca Juga: PMI Manufaktur Juli Naik, Kemenperin Beberkan Sentimen Positif Pendorongnya
Konsumsi Masyarakat Tertekan Biaya Pendidikan dan Inflasi
Tauhid menyoroti bahwa setelah momen Ramadan dan Lebaran yang sempat mengangkat konsumsi, permintaan masyarakat kembali tertahan. Hal ini dipicu oleh lonjakan pengeluaran untuk biaya pendidikan menjelang tahun ajaran baru.
“Waktu Juni itu H-3 tahun ajaran baru. Pengeluaran masyarakat tinggi sekali untuk biaya masuk sekolah, dari SD sampai SMA. Jadi pembelian untuk barang-barang industri seperti elektronik, pakaian, itu tidak terlalu tinggi,” jelasnya.
Selain itu, inflasi yang masih tinggi membuat masyarakat lebih hati-hati dalam membelanjakan uang. Kenaikan harga BBM nonsubsidi, harga pangan, dan barang konsumsi lainnya turut menekan daya beli masyarakat.
“Masyarakat lebih berhati-hati dengan inflasi yang tinggi, dalam memilih pengeluaran. Pembelian produk-produk manufaktur jadi tertunda,” kata Tauhid.
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Turun Lagi, Pemerintah Siapkan Stimulus Industri
Peluang Pemulihan Masih Terbuka di Kuartal III-2025
Masuknya barang-barang impor, terutama dari China, menjadi tantangan tambahan bagi industri manufaktur nasional. Menurut Tauhid, data neraca perdagangan menunjukkan impor mesin dan peralatan elektronik dari China terus meningkat, yang pada akhirnya menghantam daya saing produk lokal di pasar domestik.
“Barang-barang dari China makin tinggi impornya. Itu menghantam produk industri kita di pasar domestik,” tegasnya.
Meski demikian, Tauhid menyebut peluang pemulihan masih terbuka, terutama jika belanja pemerintah, termasuk bantuan sosial (bansos), mulai digelontorkan pada Agustus 2025.
“Kalau bansos dan pengeluaran pemerintah meningkat di Agustus, akan ada dorongan. Tapi tidak tinggi-tinggi amat,” ujarnya.
Ia juga menilai bahwa penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia dapat memberikan efek positif, meskipun dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan (lag time) sebelum dampaknya terasa di konsumsi dan produksi.
Baca Juga: PMI Manufaktur Korea Selatan Terperosok 6 Bulan Berturut, Dihantam Tarif AS
Industri Diperkirakan Akan Menyesuaikan Stok
Menjelang akhir tahun, pelaku industri diperkirakan akan mulai mengurangi pembelian bahan baku dan menghabiskan stok yang ada sebagai strategi efisiensi. Langkah ini bisa menjaga PMI tetap di atas 50 pada kuartal mendatang.
Pelaku usaha akan lebih hati-hati menghadapi pasar global.
"Tapi ada potensi stabil di kuartal III atau IV, karena efek penurunan suku bunga BI akan mulai terasa,” tutup Tauhid.
Selanjutnya: Simak Rekomendasi Saham PWON, CTRA, SMRA, BSDE dari Analis Berikut
Menarik Dibaca: Waspadai Anak yang Menggunakan Chatbot AI dan Teman Virtual di Era Digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News