Reporter: Indra Khairuman | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sektor industri manufaktur Indonesia menunjukkan tanda-tanda perbaikan pada awal semester kedua 2025. PMI Manufaktur tercatat mencapai angka 49,2 pada Juli atau meningkat dari 46,9 di bulan sebelumnya. Kenaikan ini menandakan optimisme para pelaku industri di tengah tantangan ekonomi global, didorong oleh kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat (AS) serta kemajuan dalam perundingan perjanjian dagang dengan Uni Eropa.
Febri Hendri Antoni Arief, Juru Bicara Kementerian Perindustrian, mengatakan bahwa peningkatan PMI Manufaktur Indonesia menjadi 49,2 di bulan Juli 2025 merupakan perkembangan positif setelah mengalami penurunan selama empat bulan berturut-turut.
PMI ini meningkat 2,3 poin dari bulan sebelumnya yang hanya mencapai 46,9 dan angka ini juga lebih tinggi dibanding PMI beberapa negara lain seperti Jepang (48,8), Prancis (48,4), Inggris (48,2), Korea Selatan (48,0), serta Taiwan (46,2).
“PMI naik karena beberapa minggu terakhir terdapat dinamika kebijakan yang membuat pelaku industri lebih optimistis,” ujar Febri dalam keterangan resmi yang dikutip Kontan.co.id, Minggu (3/8/2025).
Baca Juga: PMI Manufaktur Indonesia Turun Lagi, Pemerintah Siapkan Stimulus Industri
Menurut Febri, salah satu faktor pendorong kenaikan sentimen positif ini adalah kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS yang dianggap memberi keuntungan kompetitif bagi produk lokal. Ia menjelaskan bahwa kesekapatan ini bisa dicapai karena diplomasi Presiden Prabowo dalam membuka pasar yang lebih adil.
“Indonesia berhasil memperoleh tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Hal ini menjadi modal penting bagi peningkatan daya saing industri nasional,” kata Febri
Febri juga menjelaskan bahwa selain hubungan dagang dengan AS, kemajuan dalam proses negosiasi Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) merupakan faktor utama yang meningkatkan optimisme. Harapannya, perjanjian ini bisa menyediakan lebih banyak kesempatan untuk ekspor produk manufaktur Indonesia ke Eropa.
“Perjanjian dagang ini juga dinilai sangat dinanti dan diapresiasi oleh pelaku industri karena akan membuka hambatan ekspor yang selama ini dihadapi oleh produk manufaktur Indonesia,” jelas Febri.
Ia juga mengatakan bahwa langkah-langkah kebijakan yang pro-industri, seperti revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, memperkuat keyakinan pelaku usaha dalam negeri terhadap regulasi pemerintah. Namun, pelaku usaha di sektor lain di luar tekstil juga menunggu penerpan kebijakan yang serupa.
“Setelah industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mendapat perlindungan melalui revisi Permendag 8/2024, pelaku usaha di sektor lain juga menanti kebijakan serupa yang mampu memberikan rasa keadilan dan kepastian dalam persaingan pasar,” ucap Febri.
Febri menekankan bahwa para pelaku industri kini menunggu kepastian teknis terkait hasil negosiasi lebih lanjut antara Indonesia dan AS, terutama terkait hambatan non-tarif. Salah satu isu utama yang menjadi perhatian adalah kemungkinan adanya fasilitas bebas bea untuk produk bermerek AS yang diproduksi di luar negeri.
“Saat ini industri menunggu kejelasan hasil negosiasi lanjutan antara Tim Negosiasi Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat, khususnya terkait isu non-tariff barriers (NTB) dan non-tariff measures (NTM),” ujar Febri.
Ia menegaskan bahwa Indonesia menolak untuk memberikan bea masuk 0% untuk barang yang tidak benar-benar diproduksi di AS. Menurutnya, ini penting untuk menjaga prinsip perdagangan yang adil dalam kesepakatan dagang bilateral.
“Bagi Kemenperin, hanya barang yang benar-benar diproduksi di wilayah Amerika Serikat yang layak mendapat bea masuk nol persen,” tegas Febri.
Baca Juga: PMI Manufaktur Masih Kontraksi, Indef Soroti Lesunya Daya Beli dan Gempuran Impor
Febri juga menyampaikan kekhawatirannya tentang keberlanjautan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), khususnya yang terkait dengan izin edar produk seperti Handphone, Komputer Genggam, dan Tablet (HKT). Pemerintah masih memberikan pembebasan TKDN untuk produk yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.
“TKDN yang dibebaskan itu diberlakukan bagi barang-barang yang tidak bisa atau belum di produksi oleh industri dalam negeri,” kata Febri.
Ia mengatakan bahwa kebijakan TKDN sebenarnya diranncang untuk mendorong investasi, karena permintaan pasar sudah jelas, sehingga pelaku industri tertarik untuk membangun fasilitas produksi di Indonesia.
“Dengan adanya demand dan kebijakan TKDN, maka akan memicu pengusaha untuk berinvestasi dan membangun pabriknya di Indonesia, karena demand nya sudah jelas,” tegas Febri.
Febri menjelaskan, meski PMI menunjukkan perbaikan, sektor manufaktur Indonesa masih mengalami tekanan dari berbagai faktor, seperti penurunan permintaan ekspor, berkurangnya tenaga kerja, sampa melonjaknya harga bahan baku yang disebabkan konflik geopolitik dan pelemahan nilai tukar rupiah.
“Perusahaan banyak menggunakan stok barang jadi untuk memenuhi pesanan dan mengurangi aktivitas pembelian baru,” ucap Febri.
Ia tetap optimis bahwa peluang untuk sektor industri masih terbuka lebar jika pemerintah menjaga konsistensi kebijakannya dan mendukung pelaku dalam negeri. Menurutnya, keseimbangan dalam perjanjian dagang internasinal juga penting dijaga untuk menciptakan iklim usaha yang sehat.
“Kami optimis bahwa melalui kebijakan yang konsisten dan berpihak pada industri dalam negeri, serta menjaga keseimbangan dalam perjanjian dagang internasional, sektor manufaktur Indonesia akan kembali ekspansif,” jelas Febri.
Indeks Kepercayaan Industri (IKI)
Febri menjelaskan juga bahwa Kemenperin tidak menggunakan hasil PMI untuk dasar perumusan kebijakan industri karena hanya mengambil sampel dari sekitar 500 perusahaan. Kemenperin lebih mengandalkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang mengumpulkan data dari lebih dari 3.100 perusahaan.
“Kami menghargai hasil survei PMI sebagai referensi umum, namun dalam merumuskan kebijakan, Kemenperin menggunakan Indeks Kepercayaan Industri (IKI),” kata Febri.
Febri menegaskan bahwa IKI berasal dari survei langsung kepada pelaku usaha di 23 subsektor manufaktur dan mencakup aspek-aspek penting seperti utilisasi kapasitas, ekspor, tenaga kerja, dan ekspektasi ke depan. IKI juga dianggap lebih tepat karena berbasis pada data primer dan mencerminkan kondisi sectoral nasional secara lebih menyeluruh.
“IKI jauh lebih komprehensif karena melibatkan responden lebih banyak, dan kami melengkapi dengan data IKI ekspor dan domestik, serta analisis yang mendalam terhadap tren dan tantangan aktual di lapangan,” tambah Febri.
Selanjutnya: Bank Mandiri Latih 125 PMI di Kuala Lumpur Jadi Wirausaha Tangguh
Menarik Dibaca: Awas! Cuaca Curah Hujan Tinggi di Sini hingga 10 Agustus, Potensi Banjir Tinggi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News