kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.602   0,00   0,00%
  • IDX 8.021   105,19   1,33%
  • KOMPAS100 1.110   19,49   1,79%
  • LQ45 792   19,47   2,52%
  • ISSI 282   0,61   0,22%
  • IDX30 412   11,36   2,83%
  • IDXHIDIV20 466   13,13   2,90%
  • IDX80 123   2,03   1,67%
  • IDXV30 131   2,42   1,88%
  • IDXQ30 131   3,72   2,93%

Honor saksi dari negara rawan korupsi & intervensi


Selasa, 28 Januari 2014 / 09:23 WIB
Honor saksi dari negara rawan korupsi & intervensi
ILUSTRASI. Kulit yang berjerawat tak hanya memerlukan perawatan dari luar saja, ada juga beberapa perawatan dari dalam yang wajib diketahui.


Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menentang kebijakan kucuran dana negara untuk honor saksi partai politik di tempat pemungutan suara (TPS) pada Pemilu 2014. Alasannya, rentan terkena delik korupsi dan rawan menjadi jalan intervensi.

"PDI Perjuangan tegas tidak mau menerima dana saksi dari negara, karena itu urusan internal partai," kata liason officer DPP PDI Perjuangan di Komisi Pemilihan Umum, Sudiyatmiko Aribowo, di Jakarta, Senin (27/1/2014). Dia mengatakan, pertanggungjawaban penggunaan dana saksi parpol tersebut sulit dilakukan.

Padahal, kata Sudiyatmiko, Rp 1 saja dana dari negara tak bisa dipertanggungjawabkan sudah akan terkena delik korupsi. Bila rencana honor saksi tersebut diterapkan, persoalan pertanggungjawaban penggunaan yang rentan terseret menjadi perkara korupsi juga akan dihadapi Badan Pengawas Pemilu.

Sudiyatmiko mengatakan, pendanaan saksi parpol oleh negara tersebut rawan menjadi intervensi negara terhadap partai politik. Padahal, partai politik adalah organisasi independen. "Pendanaan untuk saksi di TPS adalah area internal partai," ujar dia.

Menurut Sudiyatmiko, bukan tugas negara turut campur dan ikut menanggung dana untuk saksi partai politik di TPS pada pemilu. Penempatan saksi di TPS tersebut, ujar dia, tergantung pada kemampuan dan kesadaran partai untuk mengamankan suara.

Partai politik yang modern, imbuh Sudiyatmiko, seharusnya bersikap mandiri, independen, dan tak membebani negara. "Kebijakan ini aneh. Tanpa disosialisasikan ke parpol, tiba-tiba diputuskan oleh pemerintah atas persetujuan Komisi II DPR," katanya. (Deytri Robekka Aritonang)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×