Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Beberapa teman melaporkan bahwa pemakaian norma mereka ditolak oleh KPP setempat. Alasannya, norma itu hanya bisa dipakai untuk pendapatan non-royalti. Saya ikut terkejut. Pendapatan utama seorang penulis seharusnya adalah royaltinya. Jadi, kenapa justru norma itu tidak bisa dipakai untuk pendapatan utamanya?
Saya pikir tadinya itu sekadar masalah sosialisasi. Mungkin belum semua KPP paham dan ngeh tentang aturan baru itu. Di sinilah akhirnya polemik Tere Liye memberikan saya kejelasan. Akibat maraknya pembahasan pajak royalti penulis, saya berkesempatan mengumpulkan berbagai perspektif. Dan, ternyata saya masih menemukan akar permasalahan yang sama.
Ketika penulis dianggap memperoleh penghasilan pasif, maka ia tidak dianggap layak untuk memanfaatkan rumus norma. Penulis dianggap tidak keluar modal. Biaya kertas, percetakan, distribusi, dsb, adalah modal penerbit.
Terkecuali jika penulis menerbitkan sendiri karyanya, barulah ia dianggap keluar modal. Artinya, ketika pajak menggenggam sebuah buku, ia hanya melihat modal yang keluar dari 90% aspek fisik buku saja, bukan dari kontennya.
Inilah masalahnya. Terlepas dari definisi royalti per se, bagi saya pada hakikatnya penerbit dan penulis seperti mitra yang berbagi hasil. Mereka membawa investasinya sendiri-sendiri. Penerbit membawa modal cetak. Penulis membawa modal konten dan waktu yang telah ia dedikasikan untuk mewujudkan idenya jadi buku. Buku laku maka dua-duanya untung. Buku tak laku maka dua-duanya buntung.
Di mata pajak, definisi modal masih berkutat di aspek fisik mekanis. Ada wujudnya, ada barangnya. Sementara modal penulis bersifat abstrak. Secara wujud fisik, penulis mungkin datang hanya dengan membawa sebatang USB atau jilidan draf. Tak ada harganya.
Tapi, sebagai pihak yang melalui proses berkarya, bagi saya modal itu tidak kecil sama sekali. Penulis adalah hulu dari industri buku. Penyumbang konten yang lalu diperbanyak secara fisik oleh mata rantai berikutnya. Bagaimana mungkin kontribusi di hulu itu tidak dihargai secara proporsional?
Kalau rumus norma penulis hanya berlaku bagi pendapatan non-royalti, maka untuk menikmatinya penulis harus mengkapitalisasi lagi kepenulisannya sebagai pembicara, pemateri, pengiklan. Apa pun tapi bukan royalti. Boleh-boleh saja tentunya. Saya pun melakukannya. Tapi, berapa banyak penulis yang punya kesempatan ke arah sana? Dan, apa gunanya norma 50% itu kalau ternyata tidak bisa menyentuh pendapatan utama penulis, yakni royalti bukunya sendiri? Lagi-lagi, kondisi tadi menggarisbawahi bahwa: menulis buku saja tidak cukup.
Setiap saya memasuki periode menulis buku baru, ada satu folder yang akan sering sekali saya buka. Isi folder itu adalah template surat penolakan. Saya menolak tawaran jadi pembicara, menolak undangan ke luar kota, dsb. Rangkaian penolakan tersebut bisa berlangsung enam bulan hingga setahun. Saya sadar banyak peluang income yang terpaksa saya lewatkan demi melahirkan buku baru, but I set my priority. Ketika suami pergi kerja dan anak saya sekolah, saya menghabiskan 5-7 jam per hari untuk menulis.
Di Inggris, penulis macam saya termasuk kategori pekerja lepasan, dan untuk itu pendapatannya dianggap sebagai pendapatan aktif. Namun, di mata perpajakan kita, semua yang saya lakukan itu adalah upaya pasif. Pemasukan saya kelak juga akan menjadi pendapatan pasif. Sama seperti kalau saya mendepositokan uang, mendiamkannya, dan menunggu ia tumbuh.
Masalahnya, buku saya tidak menulis dirinya sendiri. Saya yang aktif bekerja melakukannya. Bisa setahun penuh. Hasil dari kerja itulah yang menjadi modal saya untuk pergi ke penerbit dan bernegosiasi. Dan, apakah berhenti di sana? Tentu tidak. Kami masih harus menjalani program promosi berupa launching, booksigning, jumpa pembaca, dst.
Pertanyaan saya, jika memang pekerjaan kami dianggap pasif, mengapa perlakuan pajak terhadap pendapatan royalti tidak mencerminkan itu? Bunga deposito dikenai pajak final. Tetapi, pendapatan royalti tidak demikian. Betul, pajak yang tidak final bisa digunakan sebagai kredit pajak, dan itu yang selalu menjadi alasan ketidakfinalan pajak royalti dianggap “menguntungkan”. Tapi, silakan simulasi sendiri. Mana yang lebih punya dampak bagi kami. Dikenai pajak dua kali atau sekalian jadikan pajak royalti sebagai pajak final? Karena toh setelah profesi penulis punya rumus norma sekalipun, kami tetap tidak dapat menggunakannya untuk meringankan pajak royalti kami.
Ketidakselarasan antara perlakuan profesi dan perlakuan pajak inilah yang menjadi sumber masalah. Porsi jerih payah kami mungkin hanya 10 – 15% dari harga banderol, tapi jangan nolkan modal kami. Selama kontribusi kami tidak dilihat sebagai modal riil, maka selamanya pula kami dirugikan meski dengan adanya pilihan memakai norma.
Ketika saya bicara soal meminta keringanan pajak royalti, beberapa berkomentar, “Orang pajak pasti akan bertanya balik, keuntungan buat mereka apa? Kalau pajak diringankan, harus ada timbal baliknya.” Saya mengerti logikanya, tapi juga mendapatkan hal itu menyedihkan.
Kalau hitungannya cuma uang, saya tidak tahu bisa memberi timbal balik apa lagi untuk pemerintah (selain berkarya dan membayar pajak). Bahkan dalam peta ekonomi kreatif Indonesia, industri perbukuan adalah industri bontot yang kuenya sangat kecil dibandingkan kuliner dan busana.