kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Dee Lestari bicara soal pajak penulis


Jumat, 08 September 2017 / 21:42 WIB
Dee Lestari bicara soal pajak penulis


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

Setiap ada kesempatan berbicara mewakili penulis, soal pajak royalti tidak pernah luput saya ungkap. Termasuk ketika saya punya kesempatan curhat langsung kepada Presiden Jokowi di acara Temu Kreatif BEKRAF di ICE BSD, tahun 2015. Di sana, kembali saya menyuarakan agar pajak royalti penulis diringankan.

Dengan seorang pejabat pajak, saya pernah berdiskusi panjang lebar. Dalam pandangan awam saya, peraturan pajak saat itu rasanya menggasak penulis dua kali. Sudah pendapatan royalti dikenai 15%, sisanya yang masuk ke penghasilan tahunan dihitung utuh sebagai pendapatan kena pajak.

Saya lalu membandingkan dengan suami saya, seorang praktisi kesehatan, yang karena profesinya dapat menggunakan rumus norma sebesar 30%. Dari total pendapatannya, ia cukup memasukkan 30% untuk dikenai pajak. Sisanya? Dianggap sebagai modal usahanya sebagai praktisi kesehatan.

Dalam diskusi itu saya bertanya, mengapa tidak ada norma untuk profesi penulis? Mengapa pendapatan kami seratus persen dikenai pajak? Lalu, pejabat pajak itu menjawab, norma hanya rumus untuk memudahkan. Jika saya mau membuat pembukuan, bisa saja saya masukkan biaya-biaya yang dianggap “modal menulis”, entah itu sewa kantor, riset, dan sebagainya.

Saya pun berpikir, mengapa penulis harus serepot itu mengada-ada agar mendapatkan keringanan? Menulis buku saja sudah repot. Dan, setelah saya telusuri lagi, melampirkan pembukuan pun bukan solusi bagi profesi penulis karena penghasilan royalti dianggap sebagai income pasif, macam bunga deposito. Namun, yang paling mengganggu saya saat itu adalah, ketiadaan norma bagi penulis menunjukkan bahwa profesi kami masih invisible di mata pajak.

Setahun setelah curhat saya ke Presiden Jokowi, saya mendengar kabar baik dari Yustinus Prastowo, analis pajak yang sering saya ajak tukar pikiran, bahwa akan ada aturan norma untuk penulis. Akhirnya. Profesi penulis memiliki tempat bersama profesi-profesi lain yang punya pilihan memakai rumus norma.

Kami, yang tidak punya staf akuntan dan tak sempat membuat pembukuan apalagi mengarang-ngarang pengeluaran modal, dapat dimudahkan dengan rumus norma ini. 50%. Not bad, pikir saya. Daripada tidak sama sekali.

Tahun 2017 ini akhirnya kami berkesempatan menggunakannya. Saya bahkan sebarkan kabar bahagia itu ke rekan-rekan penulis di awal bulan pelaporan pajak agar mereka tidak lupa menggunakan privilese baru tersebut. Namun, ternyata tidak semua berakhir baik.



TERBARU

[X]
×