Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - Penulis buku Tere Liye lewat laman Facebooknya mengumumkan sudah memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar Indonesia. Alasannya, pemerintah selama ini tidak adil terhadap profesi penulis buku karena dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pangkal masalah ini ada pada PPh Pasal 23 atas royalti penulis buku, yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Menurut Yustinus, hal ini menjadi kejam karena umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan sehingga cukup kecil.
Ia menerangkan, jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp 150 juta-Rp 250 juta, maka sang penulis setidaknya setara mendapat penghasilan jual buku setara Rp 1,5 miliar-Rp 2,5 miliar.
“Andai satu buku harganya Rp 100.000, maka lebih kurang harus menjual 15.000 eksemplar. Fantastis! Karena jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan, maka para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun,” kata Yustinus lewat pesan tertulisnya yang dikutip KONTAN, Rabu (6/9).
Meski demikian, penulis secara administrasi pajak diakui sebagai pekerja bebas, sehingga boleh menghitung pajak dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, sehingga penulis yang penghasilan setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar boleh menggunakan ini, dan penghasilan nettonya diakui (deemed) sebesar 50%, baru dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan dikenai pajak sesuai tarif berlaku.
Yustinus melanjutkan, dengan begitu tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan agar lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow penulis. Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala secara semesteran.
“Di sinilah isu fairness relevan. Hak mengkreditkan sebenarnya sudah bagus, terlebih jika diimbangi restitusi yang lebih mudah dan cepat,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News