Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - Penulis buku Tere Liye lewat laman Facebooknya mengumumkan sudah memutuskan kontrak dengan dua penerbit besar Indonesia. Alasannya, pemerintah selama ini tidak adil terhadap profesi penulis buku karena dikenakan pajak lebih tinggi dari profesi-profesi lainnya
Hal ini telah mendapat respon dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dirinya mengatakan, pihaknya melalui Direktur Jenderal Pajak akan memanggil penulis Tere Liye untuk berbicara mengenai keluhan tersebut.
"Pajak penulis akan ditangani Dirjen Pajak, kami akan bertemu dengan (penulis) yang bersangkutan," ujar Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (6/9).
Sebelumnya, dalam tulisannya di laman Facebook tersebut, Tere mengaku sudah menyampaikan persoalan tersebut kepada pemerintah, termasuk Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan dan Badan Ekonomi Kreatif. Namun, menurut pengakuannya, permintaan bertemu untuk menyampaikan persoalan ini tidak pernah digubris.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pangkal masalah ini ada pada PPh Pasal 23 atas royalti penulis buku, yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Menurut Yustinus, hal ini menjadi kejam karena umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan sehingga cukup kecil.
Ia menerangkan, jika tarif 15% berlaku untuk rentang penghasilan kena pajak antara Rp 150 juta-Rp 250 juta, maka sang penulis setidaknya setara mendapat penghasilan jual buku setara Rp 1,5 miliar-Rp 2,5 miliar.
“Andai satu buku harganya Rp 100.000, maka lebih kurang harus menjual 15.000 eksemplar. Fantastis! Karena jumlah potongan pajak lebih besar dibanding kewajiban pajak tahunan, maka para penulis berpotensi lebih bayar di akhir tahun,” kata Yustinus lewat pesan tertulisnya yang dikutip KONTAN, Rabu (6/9).
Yustinus melanjutkan, dengan begitu tarif PPh pemotongan untuk royalti penulis sebaiknya diturunkan agar lebih fair, masuk akal, dan membantu cash flow penulis. Apalagi pembayaran royalti biasanya berkala secara semesteran.
“Di sinilah isu fairness relevan. Hak mengkreditkan sebenarnya sudah bagus, terlebih jika diimbangi restitusi yang lebih mudah dan cepat,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News