Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai, laporan terbaru dari United States Trade Representative (USTR) terkait masalah Bea Cukai Indonesia harus menjadi momentum serius bagi pemerintah untuk melakukan reformasi menyeluruh.
Direktur Utama Celios Bhima Yudhistira menilai, temuan USTR tersebut seharusnya menjadi alarm penting bagi pemerintah untuk segera melakukan reformasi mendalam terhadap sistem kepabeanan nasional.
Menurutnya, masalah Bea Cukai ini bukan hanya soal tarif atau kepentingan Amerika Serikat semata. Namun, ini sudah menjadi keluhan yang sudah lama disuarakan oleh perusahaan-perusahaan asing dan domestik.
"Persoalan ini harus segera diselesaikan," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (21/4).
Ia menekankan, Bea Cukai adalah instrumen paling krusial dalam mempercepat arus ekspor dan impor. Buruknya tata kelola bea cukai, menurutnya, turut memperburuk iklim investasi dan merusak daya saing Indonesia di pasar global.
“Ease of doing business itu juga terkait dengan masalah kecepatan dan kompleksitas administrasi, (juga terkait) korupsi di ranah Bea Cukai. Kalau Indonesia serius, ini bisa membuat AS melunakj dalam negosiasinya," katanya.
Baca Juga: Tarif Impor AS Mencekik! Prabowo Ajukan Negosiasi Resmi dengan USTR
Bhima mengusulkan pembentukan satuan tugas independen untuk melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi kebijakan atas kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Ia mengkritik model reformasi sebelumnya yang dinilai terlalu elitis dan terbatas hanya di lingkaran pemerintahan.
"Selama ini banyak pemerintah bikin komite isinya orang-orang pemerintahan. Jadi harus satgas independen yang kemudian bisa memberikan rekomendasi sekaligus juga bisa melakukan monitoring terhadap kerjanya bea cukai. Nah ini yang harus segera dibentuk oleh Presiden Prabowo," imbuh Bhima.
Lebih lanjut, Bhima mengingatkan, korupsi dalam sistem bea cukai menyebabkan biaya logistik melonjak tinggi. Biaya tersebut pada akhirnya dibebankan kepada pelaku usaha dan diteruskan kepada konsumen, yang memperburuk daya saing produk Indonesia.
"Ini harus ada penegakan hukum, sanksi yang tegas. Yang selama ini hanya parsial," katanya.
Ia juga menyebut, meski investasi dalam teknologi dan pengadaan alat-alat modern sudah dilakukan, akar persoalan tetap ada pada lemahnya penegakan hukum.
Sementara itu, Head of Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufiqurrahman mengatakan, keluhan yang disampaikan USTR mencerminkan persoalan struktural yang selama ini belum terselesaikan dalam sistem perdagangan Indonesia.
Menurutnya, masalah seperti administrasi yang rumit, kurangnya transparansi dalam penghitungan tarif, serta dugaan perlakuan diskriminatif terhadap pelaku usaha asing menunjukkan adanya resistensi birokrasi terhadap liberalisasi perdagangan.
Ia menyebut, dalam perspektif ekonomi politik, hambatan non-tarif yang dipertahankan tanpa dasar akuntabilitas justru menghambat efisiensi dan integrasi Indonesia dalam rantai pasok global.
Meski begitu, Rizal mengingatkan pentingnya untuk menilai laporan USTR secara objektif. Tidak semua kritik mencerminkan kondisi secara menyeluruh, karena dalam beberapa kasus, regulasi Indonesia bertujuan untuk melindungi pelaku usaha nasional.
Namun jika tidak dijalankan dengan kepastian hukum, kebijakan semacam ini dapat menciptakan persepsi negatif yang berdampak langsung pada iklim investasi.
"Jika prosedur Bea Cukai dan kebijakan teknis dijalankan tanpa kepastian hukum dan akuntabilitas, maka justru akan menciptakan persepsi negatif dan mengurangi daya saing Indonesia. Ini harus menjadi alarm untuk mendorong reformasi sistemik, bukan hanya respons kosmetik," kata Rizal.
Ia menambahkan, Indonesia sangat perlu merespons laporan USTR ini secara strategis, namun tanpa menunjukkan sikap defensif yang berlebihan.
Pasalnya, respons yang efektif dapat memberikan sinyal positif kepada mitra dagang bahwa Indonesia adalah negara yang siap bersaing secara sehat dan terbuka di pasar global.
Baca Juga: AS Keluhkan Praktik Bea Cukai Indonesia, Hambat Perdagangan dan Berisiko Korupsi
Rizal juga mengingatkan, jika laporan semacam ini diabaikan, bisa memicu respons proteksionis dari AS, seperti penambahan tarif atau hambatan teknis terhadap ekspor Indonesia.
Selain dampak langsung terhadap ekspor, persepsi negatif juga dapat merusak reputasi Indonesia sebagai destinasi investasi.
"Jadi, meski kritik USTR bisa terasa tajam, jika ditanggapi secara tepat, justru bisa menjadi batu loncatan untuk perbaikan ekonomi jangka panjang," imbuhnya.
Seperti yang diketahui, praktik kepabeanan Indonesia kembali menjadi sorotan internasional setelah masuk dalam laporan tahunan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR).
Laporan tersebut mengungkap berbagai tantangan yang secara konsisten dihadapi perusahaan Amerika Serikat saat berurusan dengan sistem Bea Cukai Indonesia.
Selanjutnya: Kinerja Seluruh Lini Bisnis Emas Moncer, Begini Strategi yang Diterapkan Pegadaian
Menarik Dibaca: Dominan Berawan, Berikut Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (22/4)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News