kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45891,58   -16,96   -1.87%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Anggaran pendidikan jumbo tapi skor PISA justru melorot, kenapa?


Kamis, 05 Desember 2019 / 14:35 WIB
Anggaran pendidikan jumbo tapi skor PISA justru melorot, kenapa?
ILUSTRASI. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara


Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar mengecewakan datang dari hasil survei The Programme for International Student Assessment (PISA) edisi 2018 oleh  Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). 

Survei yang dilakukan terhadap siswa sekolah berusia 15 tahun di berbagai negara tersebut mengungkap, skor PISA Indonesia mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil terakhir pada tiga tahun sebelumnya yakni di 2015. Tak hanya itu, skor PISA Indonesia juga masih berada jauh di bawah rata-rata skor PISA yang diraih negara-negara anggota OECD.  

Menurunnya capaian skor PISA Indonesia menjadi ironi mengingat besarnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan selama ini, yaitu 20% dari total belanja APBN sesuai amanat Undang-Undang.

Baca Juga: Skor PISA Indonesia makin menurun, fokus pemerintah pada SDM makin genting

Dalam APBN 2020, total anggaran pendidikan mencapai Rp 508,1 triliun terdiri dari anggaran pemerintah pusat, transfer ke daerah, maupun dana abadi dalam pembiayaan. Anggaran pendidikan jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2015 lalu yang hanya sebesar Rp 390,3 triliun. 

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, permasalahan kualitas pendidikan Indonesia memang sama sekali bukan soal kekurangan uang. 

“Bukan tidak punya duit. Itu besar sekali yang dianggarkan. Misalnya budget kita untuk belanja negara Rp 2.500 triliun, sesuai UUD harus 20% untuk pendidikan. Berarti setiap tahun ada Rp 500 triliun anggaran pendidikan,” tutur Suahasil, Rabu (4/12) malam. 

Yang menjadi masalah, lanjut dia, ialah pemanfaatan anggaran pendidikan yang tidak optimal. Pasalnya, membelanjakan anggaran pendidikan tak semudah membelanjakan anggaran infrastruktur seperti yang lima tahun terakhir menjadi fokus pemerintah. 

Suahasil menyebut, belanja anggaran pendidikan harus dilakukan dengan cerdas. “Beda dengan (belanja) infrastruktur. Kalau untuk pendidikan uangnya ada tapi cara pakainya yang harus lebih cerdas,” tandas dia. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada panel diskusi Kompas 100 CEO Forum belum lama ini juga menyinggung hal yang sama. Ia mengakui kerap beradu pendapat mengenai sebagian besar anggaran pendidikan yang justru tak dipegang oleh Kementerian Pendidikan dan Budaya (Kemendikbud).

Namun Sri Mulyani mengatakan kepada Mendikbud Nadiem Makarim yang juga ada dalam panel tersebut, bahwa cara penyaluran anggaran lebih penting dibandingkan dengan nominal uang yang dipegang oleh Kemendikbud untuk sektor pendidikan. 

Selain itu, Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa kebijakan anggaran pendidikan memang tersebar di berbagai pos belanja APBN, terutama secara langsung ke daerah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta tunjangan untuk guru. 

It’s not about the money, but how you deliver it. APBN dan fiskal adalah instrumen bukan tujuan. Bagaimana anda mendesain dan memanfaatkannya, kami mendukung sepenuhnya,” ujar Menkeu kepada Nadiem. 

Adapun data Kementerian Bappenas sebelumnya pernah mengungkap bahwa terlepas dari meningkatnya angka partisipasi sekolah yang tinggi, kualitas pendidikan Indonesia masih sangat rendah. 

Baca Juga: Ikatan Guru minta Nadiem Makarim prioritaskan anggaran untuk ketersediaan guru

Bappenas menilai, rendahnya capaian skor PISA menjadi penyebab keahlian dasar tenaga kerja Indonesia sangat rendah. Bahkan, keahlian tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di Indonesia hanya setara keahlian tenaga kerja lulusan SMA ke bawah di Denmark. 

Padahal, peningkatan skor PISA setiap pelajar menjadi rata-rata 420 berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia sebesar 0,6% selama 2020-2060 dari baseline. 

Selain itu, berdasarkan historis peningkatan PISA yang sangat lambat selama ini, Indonesia diperkirakan baru dapat mencapai skor rata-rata OECD pada tahun 2065. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×