Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
Refi melihat ada sikap apatis masyarakat yang membuat UU SDA 2019 sepi dari perdebatan publik. Padahal, Ia kembali mengingatkan, secara esensi UU SDA 2019 masih senada dan seirama dengan UU SDA 2004, yang notabene sudah dibatalkan lewat putusan MK 2015.
Refi menilai, kontras dengan pembahasan UU SDA 2019 yang sunyi senyap, hal sebaliknya terjadi dalam proses pembahasan UU SDA 2004. Perdebatan publik sangat riuh saat RUU yang diinisiasi Presiden Megawati itu dibahas di Gedung DPR RI.
Bahkan, pengesahan UU SDA 2004 di parlemen kala itu juga diwarnai dengan nota keberatan (minderheits nota) dan aksi walk out Fraksi PAN dan Fraksi PKS.
"Bahkan, setelah UU SDA 2004 disahkan, terdapat permohonan pengajuan uji materi ke MK dengan jumlah pemohon terbanyak, yakni mencapai enam kali permohonan uji materi," tambah Refi.
Baca Juga: UU pengelolaan sumber daya nasional disahkan, negara bisa tunjuk cadangan SDA
Dari sisi konten, lanjut Refi, perbedaan dari kedua UU SDA di antaranya terletak pada diksi yang dipakai.
"UU SDA 2019 tidak menggunakan diksi privatisasi, tapi esensinya justru lebih terbuka dari UU SDA 2004," ungkap dia.
Dalam UU SDA 2004, diksi yang dipakai adalah ‘hak guna usaha air’.
"Yang sekarang ini hampir sama, tapi dia punya klausul yang lebih banyak mengatur tentang keterlibatan ataupun peran swasta," jelas Refi.
Di atas semuanya, perempuan kelahiran Surabaya ini menyimpulkan, pengesahan UU SDA 2019 maupun 2004 galibnya dibingkai oleh kepentingan yang sama.
"Intinya, korporasi selalu menggunakan kekuatan lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia atau Asian Development Bank (ADB) untuk memaksa negara dengan membuat kebijakan seturut kepentingannya," ucap dia.
Ia menilai, di situ pula anomali bisa terjadi, seperti terekam dalam pengesahan UU SDA 2004. Presiden Megawati berikut partainya (PDI Perjuangan), ketika itu selalu dipersepsikan sebagai penganut ideologi nasionalis yang pro rakyat.