Reporter: Vendi Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Wahyuni Refi Setya Bekti, mengkritik keras terhadap pengesahan UU Sumber Daya Air (SDA) 2019, yang ia sebut "sarat keganjilan."
Refi meyakini UU tersebut akan mengalami hal yang sama dengan UU SDA tahun 2004. Yakni Berpotensi diuji materi, bahkan dibatalkan.
"Saya katakan ini 'de javu'. Kondisi sama di waktu berbeda yang bakal terulang," ujar Refi dalam siaran pers, Minggu (12/1).
Dalam UU SDA 2019, menurut Refi, hak guna usaha air bermetamorfosis pada diksi penggunaan sumber daya air untuk usaha dan bukan untuk usaha. Pola perolehan Perizinan juga masih sama. Turunan teknis di PP juga sama.
Baca Juga: Ini dia tugas DPR, termasuk beri persetujuan Presiden untuk nyatakan perang
Kemungkinan uji materiil maupun gugatan warga negara (citizen lawsuit) tetap akan dilakukan oleh komunitas masyarakat sipil, terlebih setelah PDAM juga didorong untuk turut memproduksi air minum dalam kemasan.
"UU SDA No. 17/2019 itu esensinya sama dengan UU SDA No. 7/2004 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari 2015. Intinya, pemerintah membuka ruang seluas-luasnya kepada korporasi untuk melakukan privatisasi usaha air," ucap dia.
Refi yang pada hari Rabu (8/1) lalu meraih gelar doktor dengan yudisium sangat memuaskan (cum laude) di kampus UI bahkan membuat disertasi yang Ia pertahankan yaitu menyorot kebijakan era Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pengelolaan air dengan judul "Konflik Politik Pengelolaan SDA, Studi Kasus Perumusan dan Pembatalan UU 7/2004 tentang SDA."
Menurut dia, meskipun esensi UU SDA versi 2004 dan 2019 sama-sama sarat dengan kontroversi, namun konflik politik yang tercermin dalam proses pembahasan di DPR RI sama sekali berbeda.
Baca Juga: DPR sahkan UU pengelolaan sumber daya nasional soal bela negara
"Dinamika akademik dalam proses penyusunan UU 17/2019 hampir bisa dikatakan tidak terjadi. UU SDA ini sunyi dan senyap dari konteks perdebatan publik. Tidak disangka, tiba-tiba sudah disahkan DPR RI pada September 2019 lalu," kata dia.
Refi melihat ada sikap apatis masyarakat yang membuat UU SDA 2019 sepi dari perdebatan publik. Padahal, Ia kembali mengingatkan, secara esensi UU SDA 2019 masih senada dan seirama dengan UU SDA 2004, yang notabene sudah dibatalkan lewat putusan MK 2015.
Refi menilai, kontras dengan pembahasan UU SDA 2019 yang sunyi senyap, hal sebaliknya terjadi dalam proses pembahasan UU SDA 2004. Perdebatan publik sangat riuh saat RUU yang diinisiasi Presiden Megawati itu dibahas di Gedung DPR RI.
Bahkan, pengesahan UU SDA 2004 di parlemen kala itu juga diwarnai dengan nota keberatan (minderheits nota) dan aksi walk out Fraksi PAN dan Fraksi PKS.
"Bahkan, setelah UU SDA 2004 disahkan, terdapat permohonan pengajuan uji materi ke MK dengan jumlah pemohon terbanyak, yakni mencapai enam kali permohonan uji materi," tambah Refi.
Baca Juga: UU pengelolaan sumber daya nasional disahkan, negara bisa tunjuk cadangan SDA
Dari sisi konten, lanjut Refi, perbedaan dari kedua UU SDA di antaranya terletak pada diksi yang dipakai.
"UU SDA 2019 tidak menggunakan diksi privatisasi, tapi esensinya justru lebih terbuka dari UU SDA 2004," ungkap dia.
Dalam UU SDA 2004, diksi yang dipakai adalah ‘hak guna usaha air’.
"Yang sekarang ini hampir sama, tapi dia punya klausul yang lebih banyak mengatur tentang keterlibatan ataupun peran swasta," jelas Refi.
Di atas semuanya, perempuan kelahiran Surabaya ini menyimpulkan, pengesahan UU SDA 2019 maupun 2004 galibnya dibingkai oleh kepentingan yang sama.
"Intinya, korporasi selalu menggunakan kekuatan lembaga donor seperti IMF, Bank Dunia atau Asian Development Bank (ADB) untuk memaksa negara dengan membuat kebijakan seturut kepentingannya," ucap dia.
Ia menilai, di situ pula anomali bisa terjadi, seperti terekam dalam pengesahan UU SDA 2004. Presiden Megawati berikut partainya (PDI Perjuangan), ketika itu selalu dipersepsikan sebagai penganut ideologi nasionalis yang pro rakyat.
"Namun, dalam perumusan dan pengesahan UU SDA 2004, mereka ternyata menyerah dan menjadi pengikut ideologi neoliberal yang lebih pro korporasi,” tegas Refi.
Baca Juga: Seluruh fraksi di DPR sepakat mengesahkan Undang-Undang SDA
Senada, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria juga menyinggung pentingnya tata kelola sumber daya alam untuk menghindari krisis lingkungan.
Arif mengatakan, krisis lingkungan pada dasarnya berasal dari krisis tata kelola sumber daya alam. Terkait itu, dalam penelitiannya, Arif memberikan dua perspektif baru dalam menangani krisis tersebut.
"Diperlukan perbaikan tata kelola dengan membuat perspektif baru yang disebut dengan modernisasi ekologi atau _ecology modernization_ dan ekologi politik atau _political ecology_ untuk menelaah, mengurai, memahami sumber masalahnya dan menawarkan resolusi," ucap Arif.
Modernisasi merupakan upaya adaptasi ulang masyarakat industri terhadap lingkungan hidupnya dengan menggunakan ilmu pengetahuan modern dan teknologi untuk daya dukung alam dan pembangunan berkelanjutan.
Di antaranya, kata Arif, melakukan perbaikan kerangka regulasi dan pasar untuk lebih pro-ekologi. Sedangkan terkait ekologi politik, menurut Arif, krisis lingkungan tidak dapat dilepaskan dari konteks politik dan ekonomi.
"Persoalan lingkungan memang tidak terpisah dari konteks politik dan ekonomi (politicized environment), melibatkan aktor-aktor berkepentingan baik pada tingkat lokal, regional, maupun global," kata Arif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News