Reporter: Sri Sayekti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor logistik Indonesia menyimpan persoalan laten yang tak kunjung terselesaikan secara menyeluruh sehingga dinilai menghambat kemajuan industri nasional. Indonesia, masih menjadi negara dengan ongkos logistik paling mahal di Asia Tenggara atau kawasan ASEAN. Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) mengungkapkan bahwa Biaya logistik di Indonesia mencapai 14,29 persen dari PDB.
Tingginya biaya logistik ini dinilai Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sebagai tantangan agar dunia usaha nasional berkembang lebih baik. Tingginya biaya transportasi itu kini dihantam dengan kebijakan pemerintah yang ingin menerapkan zero ODOL (over dimension overload) bagi angkutan logistik nasional.
Ketua ALI, Mahendra Rianto mengatakan bahwa penerapan kebijakan zero ODOL yang tidak dibarengi dengan Roadmap terukur dapat menjadi beban yang menimbulkan efek domino di tengah masyarakat. Menurutnya, penanganan ODOL tidak bisa dilakukan dengan pendekatan sempit.
“Kita bicara ODOL tapi tidak punya Roadmap. Bagaimana mungkin Zero ODOL diterapkan kalau tidak ada peta jalan yang jelas dan disepakati lintas kementerian? Penyelesaian ODOL itu harus dilakukan secara holistic dengan helicopter view,” kata Mahendra Rianto di Jakarta.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Rumuskan Roadmap Pembenahan Truk ODOL dari Hulu ke Hilir
Mahendra menilai roadmap penanganan ODOL harus mencakup tahapan implementasi, audit menyeluruh infrastruktur jalan, penataan ulang regulasi karoseri, peningkatan keselamatan kendaraan dan pengemudi, serta efisiensi biaya logistik. Ia mengutip data Bappenas tahun 2023 bahwa biaya logistik Indonesia mencapai 14,29 persen dari PDB, dan 40–50 persen dari angka itu berasal dari biaya transportasi.
“Itu artinya 6 sampai 7 persen GDP kita dihabiskan untuk transportasi. Ini angka yang terlalu tinggi dan membebani daya saing industri,” katanya.
Mahendra sepakat apabila bicara masalah keselamatan maka truk ODOL memang harus dibenahi. Kendati, sambung dia, penyebab utama kecelakaan truk bukan semata-mata muatan berlebih, tetapi juga kelalaian sistemik mulai dari pengawasan kendaraan, pelatihan pengemudi, hingga infrastruktur jalan yang tidak sesuai standar.
Dia mengatakan, kendaraan baru yang tidak dirawat, tidak rutin melakukan uji KIR, tidak diawasi dengan baik pasti akan berujung celaka. Dia melanjutkan, sopir juga harus beristirahat cukup dan terus dinilai ulang seperti halnya pilot yang wajib evaluasi rutin karena menyangkut nyawa manusia.
Baca Juga: Pemerintah Diminta Segera Atasi Permasalahan Truk ODOL
Mahendra juga menyoroti salah satu persoalan mendasar yakni ketidaksesuaian regulasi dengan kenyataan di lapangan, terutama dalam hal karoseri. Dia mengungkapkan, secara regulasi truk karoseri memiliki panjang maksimal sembilan meter. Namun kenyataan di lapangan truk baru hasil karoseri banyak yang mempunyai panjang 12 meter.
“Bagaimana kok bisa karoseri buat truk sampai 12 meter? Bahkan pabrikan sekarang pakai long sasis dan tetap lolos uji, dapat STNK. Artinya, ada yang melegalkan pelanggaran dari hulu. Lalu, kendaraan itu disalahkan saat sudah di jalan karena ODOL,” tegasnya.
Dari sisi infrastruktur, Mahendra juga menyoroti standar beban jalan tol di Indonesia yang masih menggunakan ambang batas 8 ton per gandar. Dia mengatakan, daya angkut jalan Indonesia menjadi paling rendah dibanding negara tetangga lain seperti Malaysia dan Singapura yang sudah menetapkan 12 ton per gandar.
Selain daya angkut paling buncit, Mahendra menyoroti buruknya konstruksi jalur logistic di Indonesia.Menurutnya, jalan tol tidak dibangun dengan maksimal sebagaimana seharusnya sehingga akses angkutan tersebut mudah rusak.
“Sudah pernah diaudit belum jalan tol kita? Banyak jalan rusak bukan semata karena ODOL, tapi karena konstruksi dasarnya memang lemah. Jangan semua disalahkan ke truk,” katanya.
Baca Juga: Pemerintah Kaji Insentif dan Disinsentif Penerapan Zero ODOL
Lebih lanjut, dia juga mengkritik tarif jalan tol yang dianggap tidak berpihak kepada pelaku logistik. Dia mengatakan bahwa selain bertarif tinggi, angkutan logistic juga berisiko kena tilang ODOL. Padahal, sambung dia, angkutan logistic merupakan penyumbang trafik utama di jalan tol. Dia pun meminta pemerintah menurunkan tarif tol bagi angkutan logistic.
Mahendra menilai penerapan zero ODOL tanpa penyesuaian ekosistem justru akan menciptakan tekanan baru pada biaya produksi barang. Dia mengatakan, semisal kapasitas truk dikurangi atau dibatasi maka daya angkut setiap truk berkurang 25-30 persen. Berkurangnya daya angkut setiap truk akan disiasati dengan penambahan jumlah angkutan yang berkorelasi dengan kenaikan biaya angkut sehingga berujung pada peningkatan harga barang
“Apa industri dan perdagangan siap menanggung lonjakan biaya logistik sebesar 25–30 persen?” tanyanya.
Mahendra menegaskan bahwa jika pemerintah sungguh-sungguh ingin membenahi logistik nasional maka langkah pertama yang tak bisa ditawar adalah menyusun roadmap yang konkret, inklusif, dan terukur. Menurutnya, tanpa pertimbangan dan rencana matang, zero ODOL akan mengorbankan pelaku di lapangan dan masyarakat pada akhirnya.
"Zero ODOL itu bisa dicapai, tapi jangan buru-buru. Tanpa roadmap, tanpa audit infrastruktur, tanpa regulasi yang adil dan sistem keselamatan yang kuat," katanya.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Zero ODOL Mulai Tahun 2026
Selanjutnya: BRI Life Luncurkan Platform Digital Terbaru untuk Penjualan Asuransi Pro Sport
Menarik Dibaca: Indopc Hadirkan Solusi Teknologi Nasional dengan Produk Bersertifikasi TKDN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News