Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
Josua mencatat, belanja perpajakan pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp 563,6 triliun. Realisasi penuh tuntutan buruh dapat menambah ratusan triliun belanja perpajakan, sehingga mempersempit ruang fiskal.
Dengan RAPBN 2026 yang dirancang defisit 2,48% PDB atau sekitar Rp 639 triliun, risiko pelebaran defisit bisa terjadi jika tidak diimbangi sumber penerimaan baru, seperti pajak individu berpenghasilan tinggi, pajak karbon, atau PPN digital.
“Jalan tengah bisa ditempuh, misalnya menaikkan PTKP tetapi tidak setinggi Rp7,5 juta, atau menghapus pajak pesangon, THR, dan JHT secara parsial. Dengan begitu, buruh terlindungi tetapi kesinambungan fiskal tetap terjaga,” kata Josua.
Baca Juga: Jaga Daya Beli, Pemerintah Tetap Kucurkan Insentif Fiskal pada 2026
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai tuntutan buruh cukup rasional untuk mendorong konsumsi rumah tangga dan menciptakan lapangan kerja.
“Misalnya soal PTKP menjadi Rp 7 juta, artinya disposable income pekerja bisa naik dan pada akhirnya konsumsi rumah tangga bisa tumbuh lebih tinggi,” ungkap Bhima.
Ia berpendapat, pemerintah tidak perlu khawatir kehilangan penerimaan dari PPh 21, karena peningkatan konsumsi masyarakat berpotensi mendorong penerimaan pajak lain seperti PPN.
Selanjutnya: Allianz Beberkan Sejumlah Tantangan di Lini Asuransi Rekayasa hingga Akhir 2025
Menarik Dibaca: 5 Aturan Emas Warren Buffett untuk Menghindari Jebakan Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News