Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tuntutan Partai Buruh terkait reformasi perpajakan dinilai dapat meringankan beban pekerja formal, namun juga berpotensi menekan penerimaan negara.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, usulan buruh yang mencakup kenaikan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 7,5 juta per bulan, penghapusan pajak atas pesangon, tunjangan hari raya (THR), jaminan hari tua (JHT), serta penghapusan diskriminasi pajak bagi perempuan menikah, pada dasarnya bertujuan menjaga daya beli pekerja.
Menurut Josua, kenaikan PTKP dari sekitar Rp 4,5 juta menjadi R p7,5 juta akan membuat sebagian besar pekerja bergaji UMR hingga menengah tidak lagi terkena PPh 21.
Baca Juga: Pelemahan Daya Beli Masyarakat Tekan Penerimaan Pajak Konsumsi dan Barang Mewah
“Ini akan meningkatkan disposable income, sehingga daya beli buruh lebih terjaga,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (2/9).
Ia menambahkan, penghapusan pajak atas pesangon, THR, dan JHT dapat memberikan kepastian pendapatan bersih pada momen krusial, seperti saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), hari raya, maupun masa pensiun.
Sementara penghapusan diskriminasi pajak terhadap perempuan menikah akan memperkuat keadilan gender dalam sistem perpajakan.
“Secara sosial, tuntutan ini memperkuat daya beli buruh di tengah tekanan harga dan menjaga stabilitas konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelas Josua.
Meski demikian, ia menekankan adanya konsekuensi fiskal. Target penerimaan pajak pada 2026 dipatok Rp 2.692 triliun atau 10,47% terhadap PDB, dengan kontribusi besar berasal dari PPh, PPN, dan cukai.
Baca Juga: Ekonom Perkirakan Konsumsi Rumah Tangga dan Daya Beli di Kuartal II-2025 Stagnan
Jika PTKP dinaikkan signifikan, penerimaan dari PPh 21 yang saat ini menyumbang 8%–10% dari total pajak berpotensi turun tajam.
Josua mencatat, belanja perpajakan pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp 563,6 triliun. Realisasi penuh tuntutan buruh dapat menambah ratusan triliun belanja perpajakan, sehingga mempersempit ruang fiskal.
Dengan RAPBN 2026 yang dirancang defisit 2,48% PDB atau sekitar Rp 639 triliun, risiko pelebaran defisit bisa terjadi jika tidak diimbangi sumber penerimaan baru, seperti pajak individu berpenghasilan tinggi, pajak karbon, atau PPN digital.
“Jalan tengah bisa ditempuh, misalnya menaikkan PTKP tetapi tidak setinggi Rp7,5 juta, atau menghapus pajak pesangon, THR, dan JHT secara parsial. Dengan begitu, buruh terlindungi tetapi kesinambungan fiskal tetap terjaga,” kata Josua.
Baca Juga: Jaga Daya Beli, Pemerintah Tetap Kucurkan Insentif Fiskal pada 2026
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai tuntutan buruh cukup rasional untuk mendorong konsumsi rumah tangga dan menciptakan lapangan kerja.
“Misalnya soal PTKP menjadi Rp 7 juta, artinya disposable income pekerja bisa naik dan pada akhirnya konsumsi rumah tangga bisa tumbuh lebih tinggi,” ungkap Bhima.
Ia berpendapat, pemerintah tidak perlu khawatir kehilangan penerimaan dari PPh 21, karena peningkatan konsumsi masyarakat berpotensi mendorong penerimaan pajak lain seperti PPN.
Selanjutnya: Allianz Beberkan Sejumlah Tantangan di Lini Asuransi Rekayasa hingga Akhir 2025
Menarik Dibaca: 5 Aturan Emas Warren Buffett untuk Menghindari Jebakan Keuangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News