kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Siap terbit, insentif dalam PP DHE dinilai kurang efektif


Senin, 14 Januari 2019 / 19:57 WIB
Siap terbit, insentif dalam PP DHE dinilai kurang efektif


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) siap diterbitkan.

Melalui PP ini, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan, wajib melaporkan dan memasukkan DHE ke dalam Sistem Keuangan Indonesia.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkapkan, rancangan PP tersebut telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan saat ini tengah dalam proses pengundangan di Sekretariat Negara (Setneg) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

Jadi, PP ini siap terbit dalam waktu dekat ini. "Sudah ditandatangani Pak Presiden akhir minggu lalu, (sekarang) proses pengundangan di Setneg dan Kemenkumham. Mulai berlakunya saat diundangkan," kata Susiwijono saat dihubungi Kontan.co.id, pada Senin (14/1).

Pertambangan, menjadi salah satu sub sektor yang diatur di dalam PP tentang DHE ini. Namun, Susiwijono belum mengungkapkan dengan detail komoditas mana saja yang akan dikenai kebijakan ini.

Sebab, detail komoditas akan diatur oleh Kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). "Untuk menetapkan komoditas detailnya seperti apa, nanti pakai Kepmenkeu, dan temen-temen di Kemenkeu sudah menyiapkan," ujarnya.

Di dalam bidang usaha pertambangan ini, aturan mengenai DHE ini sejatinya bukan lah hal yang baru. Peraturan sejenis yang sebelumnya telah diterbitkan antara lain Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, serta Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018 dan Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan Nomor 102 Tahun 2018.

Menurut Susiwijono, aturan dalam PP tentang DHE ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan aturan pendahulunya. Selain karena PP ini lintas sektoral, Susiwijono mengatakan kewajiban DHE dalam PP ini dilengkapi dengan sanksi dan insentif, sehingga dinilai bisa lebih efektif untuk menarik dan menahan DHE dalam sistem keuangan Indonesia.

"Jadi akan lebih kuat pengaturannya. Kemudian (PP) ini bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi XVI, di situ diberikan insentif berupa tarif perpajakan untuk bunga depositonya. Sanksinya bahkan sampai ke pencabutan izin, dulu kan nggak ada," jelasnya.

Adapun, bunga deposito untuk DHE SDA yang ditempatkan pada bank devisa diberikan insentif pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Rinciannya, bunga deposito DHE SDA yang dikonversi ke rupiah selama satu bulan sebesar 7,5%, tiga bulan sebesar 5%, dan 0% untuk yang enam bulan atau lebih. Sedangkan untuk bunga deposito DHE SDA yang tidak dikonversi ke rupiah (dalam US$) akan mendapatkan 10% untuk satu bulan, 7,5% untuk tiga bulan, 2,5% untuk enam bulan, dan 0% untuk yang lebih dari enam bulan.

Sementara itu, aturan ini juga memberikan penegasan terhadap sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan. Yakni sanksi administratif berupa: tidak dapat melakukan ekspor, denda, hingga pencabutan izin usaha.

Adanya insentif dan penegasan sanksi itu, diharapkan bisa menjadi instrumen agar lebih banyak DHE yang dikonversi menjadi rupiah.

Sebab, sebagaimana yang pernah diberitakan Kontan.co.id, berdasarkan data yang telah direkap oleh Bank Indonesia per Oktober 2018, meski kepatuhan eksportir yang melaporkan DHE sudah mencapai 98%, namun jumlah devisa yang dikonversi ke rupiah baru sekitar 15%.

Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, insentif yang ditawarkan dalam PP tentang DHE ini memang lebih menarik dibandingkan dengan aturan DHE yang ada sebelumnya.

Namun, adanya insentif itu belumlah cukup efektif untuk bisa mengubah devisa ke dalam rupiah dan menahan DHE di dalam sistem keuangan Indonesia.

Alasannya, lanjut Hendra, para pengusaha akan sulit untuk menahan DHE dalam waktu yang lama karena mereka membutuhkannya untuk membayar keperluan dan kewajiban perusahaan, apalagi kebutuhan akan dollar masih sangat tinggi.

"Mungkin jangka waktu penempatannya tidak bisa lama karena banyak kewajiban perusahaan yang sebagian besar dalam komponen dollar; dana kan berputar. Jadi secara ekonomis, bagaimana efektifitas DHE terhadap rupiah?" kata Hendra.

Hal senada juga dikemukakan oleh ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.

Menurut Bhima, kebijakan ini cukup tepat untuk mendorong likuiditas di perbankan, meskipun untuk mendorong dan menjaga penguatan kurs efeknya relatif kecil.

Bhima pun mengatakan, insentif yang diberikan pemerintah untuk konversi ke rupiah masih kurang menarik. Sebagai contoh, insentif pajak DHE yang disimpan satu bulan dalam bentuk US dollar dikenai PPh final sebesar 10%, tapi jika dikonversi ke rupiah pajaknya 7.5%.

Artinya, kata Bhima, pemerintah hanya memberi insentif sebesar 2,5% untuk konversi DHE ke rupiah. Lantaran pemerintah khawatir jika banyak memberi obral insentif, maka akan lebih banyak potential loss pajak.

"Kalau sekadar mencatat memang wajib. Tapi pencatatan tanpa mendorong konversi ke rupiah efek ke penguatan kurs yang diharapkan sulit terlihat. Gula-gula nya masih kurang greget," ungkapnya.

Lebih lanjut, Bhima juga menilai bahwa kebijakan DHE yang diperlukan adalah yang lebih struktural, yakni mendorong services excellences dari perbankan domestik.

Contohnya, banyak pengusaha yang lebih senang menaruh DHE di Singapura karena pelayanan bank dan fasilitas lainnya yang cukup memudahkan nasabah.

Sehingga, Bhima mengungkapkan bahwa layanan perbankan di Indonesia perlu untuk melakukan modifikasi produk pinjaman, dan dari sisi perbankan perlu diberi insentif oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) supaya bisa lebih menawarkan produk-produk menarik.

"Sekarang pengusaha sekadar followed the regulation saja, bukan karena menaruh uang diperbankan Indonesia menarik," kata Bhima.

Senada dengan itu, menurut Hendra Sinadia, insentif yang dibutuhkan oleh pengusaha pertambangan, khususnya batubara saat ini ialah insentif dalam pembiayaan atau kredit perbankan.

Sebab, saat ini akses pendanaan untuk batubara semakin menyempit karena perbankan di Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah sangat ketat bahkan menutup akses pembiayaan bagi batubara.

"Non Performing Loan (NPL) masih tinggi, jadi akses pembiayaan masih kurang. Kita lebih perlu insentif pembiayaan, kredit perbankan. Jadi sekarang pembiayaan mengandalkan dari China dan Jepang," ujarnya.

Terlebih, pada saat ini, kondisi harga dan pasar batubara sedang dalam tren yang sulit. Sehingga, secara momentum, kebijakan ini kurang ideal karena pasar tengah dalam kondisi "buyer market" dimana posisi tawar importir lebih dominan.

"Jika sudah ada perusahaan yang berkontrak, apalagi perusahaan kecil, posisinya tidak menguntungkan kalau mau renegosiasi. Ini tantangan, karena mereka (importir) lebih memegang kendali," kata Hendra.

Kendati demikian, Hendra yakin bahwa pengusaha pertambangan, khususnya batubara tetap akan mengikuti peraturan DHE tersebut. "Itu sudah komitmen pelaku usaha, jadi ini tetap kita dukung, mengikuti kebijakan yang ditetapkan pemerintah," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×