Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beban pemerintah untuk mengejar setoran pajak di sisa tahun ini kian berat.
Apalagi setelah kebijakan insentif pajak digelontorkan demi menjaga daya beli masyarakat, yang pada akhirnya berpotensi mengurangi penerimaan negara.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, hingga 31 Agustus 2025 realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 1.135,4 triliun atau sekitar 52% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar Rp 2.189,3 triliun.
Angka tersebut bahkan turun 5,1% secara tahunan (year on year/YoY).
Untuk memenuhi target APBN, pemerintah masih harus mengejar penerimaan sebesar Rp 1.053,9 triliun pada periode September–Desember 2025.
Baca Juga: Pemerintah Naikkan Target Penerimaan Pajak 2026 di Tengah Risiko Shortfall
Sementara itu, dalam outlook penerimaan pajak 2025 yang dipatok Rp 2.076,9 triliun, masih ada kekurangan Rp 941,5 triliun yang harus dipenuhi.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menghitung, kebutuhan penerimaan sebesar Rp 1.053,9 triliun itu setara Rp 263 triliun per bulan sepanjang empat bulan terakhir tahun ini.
“Angka ini hampir dua kali lipat dari rata-rata realisasi bulanan selama delapan bulan pertama tahun ini,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (6/10).
Pemerintah di sisi lain terus mendorong konsumsi lewat insentif fiskal, antara lain perpanjangan PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk sektor properti, diskon pajak pariwisata, hingga insentif transportasi dan belanja langsung.
Kebijakan ini positif menjaga daya beli dan momentum ekonomi, namun juga berisiko menekan penerimaan pajak bersih dan memperlebar potensi shortfall fiskal.
Baca Juga: Penerimaan Pajak Anjlok, APBN 2025 Berpotensi Hadapi Risiko Shortfall Rp 140 Triliun
Menurut Ariawan, lonjakan penerimaan biasanya terjadi pada kuartal IV, seiring pelunasan PPh badan, peningkatan PPN impor, dan penagihan pajak akhir tahun.
Namun, ia memperkirakan kenaikan tahun ini tidak akan setajam sebelumnya. Jika rata-rata penerimaan bulanan kuartal IV naik 1,4 kali dari rata-rata Januari–Agustus, atau sekitar Rp 198,7 triliun, maka total penerimaan hanya akan mencapai Rp 1.930 triliun. Artinya, masih ada shortfall Rp 259 triliun atau sekitar 11,8% dari target APBN.
Kepala Laboratorium Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM, Kun Haribowo, juga memperkirakan shortfall cukup besar, terutama dari PPh migas, PPh 21, dan PPN dalam negeri. “Restitusi juga cukup besar,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar memprediksi realisasi penerimaan pajak kemungkinan hanya sekitar 90% dari target.
Menurutnya, meski insentif DTP dicatat sebagai belanja pemerintah, dampaknya tetap berpengaruh pada keseimbangan fiskal.
Baca Juga: Korporasi Sudah Setor Pajak Rp 61 Triliun ke Kas Negara Hingga Maret 2025
“Pada akhirnya menjadi tantangan yang sama yakni defisit anggaran. Defisit APBN perlu dijaga tidak boleh lebih dari 3% produk domestik bruto (PDB),” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono, memperkirakan tanpa extra effort penerimaan pajak tahun ini hanya akan mencapai 82% dari outlook.
Meski begitu, ia menilai potensi lonjakan tetap ada. “Biasanya lonjakan penerimaan di akhir tahun muncul karena kompromi antara petugas pajak dan wajib pajak, khususnya BUMN. Apalagi pembayaran pajak itu tidak mengganggu likuiditas perusahaan,” jelasnya.
Selanjutnya: Mempertebal Likuiditas Saham, Pengendali Lepas Kepemilikan PANI Rp 2,50 Triliun
Menarik Dibaca: 5 Sosok Makhluk Mistis Legendaris Korea yang Sering Jadi Hantu di Drakor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News