Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sepanjang 2018 meningkat signifikan dari tahun sebelumnya. Ini jadi salah satu indikator, ekonomi nasional terguncang.
Dari penelusuran Kontan.co.id, pada lima pengadilan niaga di Indonesia ada 411 perkara, dengan 297 perkara PKPU, dan 194 perkara pailit pada 2018. Sementara pada 2017 tercatat ada 353 perkara dimana 238 merupakan perkara PKPU, dan 115 perkara pailit.
"Kalau mau dicermati lagi, banyak permohonan PKPU maupun pailit yang diajukan oleh kreditur, bukan dari debitr yang mengajukan restrukturisasi secara sukarela. Artinya memang semakin banyak perusahaan kesulitan keuangan," kata Ketua Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) James Purba kepada Kontan.co.id, Rabu (26/12).
Meski demikian, di sisi lain James bilang makin meningkatnya jumlah perkara kepailitan juga menunjukkan bahwa pelaku usaha makin sadar untuk menggunakan jalur hukum dalam merestrukturisasi utang-utang debiturnya.
"Perkara perdata niaga ini lebih efisien dibandingkan perdata biasa yang jika tak terima putusan para pihak bisa banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Misalnya permohonan PKPU harus putus 20 hari, kalau dikabulkan debitur harus siapkan proposal restrukturisasi, jika ditolak krediturnya konsekuensinya pailit," jelasnya.
Ditelisik lebih dalam, perusahaan manufaktur jadi sektor industri yang paling banyak dibawa terjerat. Ada 69 permohonan PKPU, dan 17 permohonan pailit. Perusahaan tekstil, garmen, baja, hingga plastik adalah beberapa sektor yang sering dimohonkan.
Sejatinya secara jumlah, sektor properti juga cukup banyak dimohonkan PKPU maupun pailit. Ada 69 permohonan PKPU dan 22 permohonan pailit.
Namun, jangkauan sektor ini lebih luas, Kontan.co.id mengidentifikasi pengembang, kontraktor sipil, kontraktor listrik, hingga pengelola wisata maupun hotel dalam kategori ini.
Sementara sektor paling minim yang diajukan adalah industri teknologi informasi yang jangkauannya mulai dari perusahaan peranti lunak, penyedia alat dan jasa perangkat teknologi, hingga penyedia internet. Untuk sektor ini, ada 6 permohonan PKPU, dan 3 permohonan pailit.
Terkait hal ini, Aji Wijaya, Managing Director Aji Wijaya & Co yang kerap jadi kuasa hukum debitur dalam perkara kepailitan bilang melimpahnya jumlah perkara sedikit banyak disebabkan krisis harga minyak dan batubara.
"Banyaknya perkara di 2018 dipicu dari krisis harga minyak dan batu bara, yang berimbas pada masalah keuangan yang dihadapi oleh perusahaan minyak dan para kontraktor dan supporting industrinya. Juga di industri mineral. Berikut domino efeknya," katanya kepada Kontan.co.id.
Sementara secara wilayah hukum, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat jadi tempat yang paling banyak menerima permohonan perkara. Ada 191 permohonan PKPU, dan 43 permohonan pailit.
Sementara yang paling sedikit terjadi di Pengadilan Niaga Makassar dengan 10 permohonan PKPU dan 11 permohonan pailit.
Soal ini James dan Aji senada, bahwa sebagai ibukota, banyak perusahaan yang berkantor di Jakarta. Sehingga jika terjadi perkara mesti diselesaikan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.