Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai ruang fiskal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto relatif sempit sejak awal masa jabatannya.
Hal ini disebabkan belanja program prioritas yang besar, sementara penerimaan negara tidak bisa langsung meningkat signifikan dalam waktu singkat.
“Oleh karena itu, SAL (Sisa Anggaran Lebih) menjadi instrumen yang cukup strategis sebagai fiscal buffer jangka pendek,” kata Rizal kepada Kontan, Senin (25/8/2025).
Menurutnya, dalam lima tahun ke depan sangat mungkin SAL akan terus digunakan, meski porsinya bisa berbeda tiap tahun. Pola penggunaan akan bergantung pada dua hal.
Baca Juga: Kenaikan SAL dan Utang Jumbo Dinilai Bisa Memperlemah Fiscal Buffer APBN Era Prabowo
Pertama, keberhasilan pemerintah memperluas basis pajak dan menekan tax gap. Kedua, realisasi efisiensi belanja negara.
“Artinya, jika reformasi perpajakan berjalan lambat dan belanja tetap ekspansif, maka ketergantungan pada SAL akan lebih tinggi. Jadi kemungkinan SAL akan terpakai secara rutin selama lima tahun cukup besar, minimal sebagai penutup defisit agar beban utang tidak semakin melonjak,” ujar Rizal.
Namun, ia mengingatkan penggunaan SAL bersamaan dengan penarikan utang baru berpotensi menimbulkan dilema. Di satu sisi, SAL bisa menahan laju pembiayaan utang agar tidak terlalu agresif. Tetapi, bila utang tetap ditarik dalam jumlah besar, maka fungsi SAL sebagai buffer akan melemah.
“Pada akhirnya, SAL hanya berfungsi sebagai bantalan sementara, bukan instrumen penguatan fundamental fiskal. Jika pola ini berlangsung terus-menerus, dalam lima tahun daya tahan buffer akan tergerus, karena SAL sifatnya terbatas, sedangkan defisit bersifat berulang,” jelas Rizal.
Baca Juga: Bukan Sekadar Sisa Anggaran, SAL Menjadi Instrumen Jaga Stabilitas Fiskal APBN
Ia menekankan idealnya posisi SAL sebagai fiscal buffer setara minimal 5%–6% dari total belanja negara tahunan, atau sekitar 2%–3% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Dengan proporsi tersebut, SAL cukup untuk menutup kebutuhan belanja tak terduga atau shock ekonomi tanpa harus langsung mengandalkan utang.
“Saat ini posisi SAL Indonesia relatif cukup besar, tetapi tantangannya adalah konsistensi menjaga level itu sambil tetap disiplin dalam penggunaan. Jika SAL terus terkuras tanpa ada upaya replenishment (pengisian ulang), maka fungsinya sebagai bantalan fiskal akan hilang,” pungkasnya.
Selanjutnya: RUU Haji Bakal Disahkan Selasa, Begini Harapan Pemerintah
Menarik Dibaca: HP Vivo Terbaru di Bulan Agustus 2025 dan Keunggulannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News