kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.933.000   17.000   0,89%
  • USD/IDR 16.378   49,00   0,30%
  • IDX 7.859   -31,86   -0,40%
  • KOMPAS100 1.103   -7,60   -0,68%
  • LQ45 822   -6,76   -0,82%
  • ISSI 265   -0,92   -0,35%
  • IDX30 425   -3,33   -0,78%
  • IDXHIDIV20 494   -1,99   -0,40%
  • IDX80 124   -0,75   -0,60%
  • IDXV30 131   0,35   0,27%
  • IDXQ30 138   -0,83   -0,60%

Kenaikan SAL dan Utang Jumbo Dinilai Bisa Memperlemah Fiscal Buffer APBN Era Prabowo


Senin, 25 Agustus 2025 / 05:30 WIB
Kenaikan SAL dan Utang Jumbo Dinilai Bisa Memperlemah Fiscal Buffer APBN Era Prabowo
ILUSTRASI. Meningkatnya posisi SAL dan penarikan utang yang bernilai jumbo secara bersamaan dinilai bisa mempengaruhi risiko fiscal buffer APBN. KONTAN/Muradi/2019/09/17


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID-JAKARA. Meningkatnya posisi Sisa Anggaran Lebih (SAL), dan penarikan utang yang bernilai jumbo secara bersamaan dinilai bisa mempengaruhi risiko fiscal buffer APBN pada masa pemerintahan Presiden Prabowo dalam lima tahun kedepan.

Jika melihat era pemerintahan Presiden Jokowi (2014-2024), tren jumlah SAL terus meningkat, dari 2014 sebesar Rp 86,14 triliun, dan terus naik menjadi Rp 459,5 Triliun pada akhir 2024. Selama periode tersebut, pemerintahan Jokowi tercatat sebanyak lima kali menggunakan SAL dengan total mencapai Rp 302,90 triliun.

Sementara pada era pemerintahan Presiden Prabowo, pengajuan SAL dalam APBN 2025 sebesar Rp 85,6 triliun, berlanjut RAPBN  2026 diajukan Rp 60 triliun, dengan defifit anggaran dipatok 2,48%, lebih rendah dibandingkan APBN 2025.

Baca Juga: Ini Target Penerimaan Negara RAPBN 2026 dan Strategi Kebijakannya

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, disiplin fiskal tersebut tidak mengurangi fungsi APBN sebagai instrumen penopang pertumbuhan ekonomi. Kemenkeu konsisten melakukan konsolidasi fiskal di dalam rangka untuk menjaga risiko APBN dan pembiayaan.

"Dengan defisit 2,48% , rasio utang masih terjaga di 39,96%. Kami juga menggunakan SAL secara cukup efektif di dalam rangka untuk menjaga APBN tidak dalam posisi tercorner apabila ekonomi atau financial secara global bergolak. Jadi fiscal buffer itu selalu disediakan dan ada, karena kondisi global tidak bisa kita kontrol dan prediksi secara exact,” ujarnya dalam Rapat Kerja Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI, Jumat (22/8).

Di sisi lain, ekonom melihat terdapat risiko pada bantalan fiskal atau fiscal buffer saat tren kenaikan SAL dan penarikan utang jumbo secara bersamaan dalam APBN.

Kepala Ekonom BCA David Sumual bahkan mengungkapkan, bahwa pada Kuartal II-2025, anga SAL sudah tembus Rp 600 triliun. Tingginya jumlah SAL ini justru menjadi beban bagi APBN.

"Angkanya sudah lumayan besar sempat di atas Rp 600 triliun di Kuartal II. SAL yang terlalu besar akan jadi beban (costly). Artinya ada persoalan dalam perencanaan strategis, pengelolaan SAL dan eksekusi program-program pemerintah," ungkapnya kepada Kontan, Minggu (24/8).

Menurutnya SAL yang ideal akan berbanding lurus dengan besaran ekonomi. Jika terlalu kecil, APBN rentan terhadap kebutuhan mendadak seperti bencana. Namun jika terlalu besar juga tidak sehat. 

Baca Juga: Tok! Banggar DPR RI dan Pemerintah Sepakati Asumsi Makro RAPBN 2026, Ini Rinciannya

Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, memprediksi pemanfaatan SAL akan semakin intensif di masa Pemerintahan Prabowo, seiring dengan besarnya belanja negara dan terbatasnya penerimaan.

Ia memperkirakan, dalam lima tahun mendatang, peluang penggunaan SAL bisa mencapai 70%–80% dengan total kumulatif sekitar Rp300 triliun sampai Rp 400 triliun atau rata-rata Rp60 triliun sampai Rp80 triliun per tahun.

“Namun, jika reformasi fiskal berhasil meningkatkan penerimaan pajak dan PNBP, ketergantungan ini bisa berkurang, terlebih dengan target pemerintah menekan defisit mendekati nol pada 2027–2028," ungkap Yusud kepada Kontan, Minggu (24/8).

Menurutnya, kombinasi penggunaan SAL dan penarikan utang baru akan menciptakan trade-off. Di satu sisi, SAL berfungsi menahan laju penerbitan utang jangka pendek dan menjaga rasio utang terhadap PDB tetap di bawah 40%. Misalnya, pada 2025 defisit ditutup sebagian dengan SAL Rp85,6 triliun, sementara pada 2026 sebesar Rp60 triliun diarahkan untuk menekan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Namun, Yusuf mengingatkan, jika SAL terus terkikis tanpa ada upaya penguatan kembali, maka fungsi buffer fiskal akan melemah. Kondisi itu bisa membuat APBN lebih rentan terhadap guncangan global seperti resesi, kenaikan harga minyak, atau krisis kesehatan. Dengan asumsi defisit rata-rata 2,5% PDB dan pertumbuhan ekonomi 5%, kebutuhan utang baru dalam lima tahun berpotensi meningkat, yang pada akhirnya mendorong rasio utang ke level lebih tinggi.

“Hal ini akan mempersempit ruang fiskal, meningkatkan biaya pinjaman, serta berisiko menurunkan rating kredit Indonesia. Untuk itu, memperkuat buffer membutuhkan strategi lebih komprehensif melalui diversifikasi pendapatan misalnya pajak karbon atau digital serta efisiensi belanja,” jelasnya.

Baca Juga: Kepala Bapenas Sebut APBN Terbatas,Pemerintah Fokus Belanja 2026 di Program Asta Cita

Lebih lanjut, Yusuf menyebutkan bahwa tidak ada ukuran universal terkait besarnya SAL yang ideal karena bergantung pada profil risiko masing-masing negara. Meski begitu, IMF dan Bank Dunia menekankan pentingnya menjaga defisit di bawah 3% PDB dan rasio utang di bawah 60% PDB, sembari membangun cadangan fiskal saat kondisi ekonomi baik.

“Prinsip dasarnya adalah menabung saat surplus atau pendapatan meningkat, agar tersedia buffer yang mampu menutup defisit 1–2 tahun atau menghadapi risiko makrofinansial besar,” pungkasnya.

Di sisi lain, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, meskipun posisi SAL pemerintah terbilang besar, namun secara teknis terdapat kesulitan untuk menarik dana anggaran tersebut. 

"Uang itu tersebar di banyak tempat, termasuk di program-program Pemerintah dan Pemda. Menarik SAL hingga Rp 50 triliun-Rp 100 triliun per-tahun untuk tahun 2026, 2027 dan 2028 secara teori bisa dilakukan. Jika sulit dalam prakteknya, maka paling tidak Pemerintah harus menahan agar SAL tidak naik, caranya dengan perencanaan APBN yang lebih akurat dan pengawasan implementasi yang lebih baik," ungkapnya.

Sebaiknya SAL jgn diandalkan dan utang harus dilakukan secara hati2. Pemanfaatan SAL bukan solusi ideal, ini solusi temporer saja. Kita butuh solusi yang struktural dan berkelanjutan. 

Ia mengingatkan, pemanfaatan SAL bukanlah solusi ideal menghadapi defisit APBN melainkan hanya temporer dan harus dilakukan hati-hati. Pemerintah butuh solusi yang struktural dan berkelanjutan

"Tingginya rasio SAL terhadap APBN dan GDP, menunjukkan kualitas perencanaan dan birokrasi," ungkapnya.

Wija menyebut, Indonesia pernah mempunyai SAL setara 5% APBN atau 0,8% PDB, yakni sekitar Rp 86 triliun pada 2014.

“Dalam konteks sekarang, nilainya sekitar Rp 180–200 triliun. Secara teori, ini bisa dicapai jika seluruh program kerja direncanakan dengan baik dan kongkrit, lalu diawasi dengan ketat. Menurut perkiraan saya, kita bisa tekan SAL dalam beberapa tahun mendatang hingga di level 10% APBN atau 1,5% GDP,” ujarnya.

Selanjutnya: Cimory Incar Penjualan Tumbuh Dua Digit

Menarik Dibaca: Rekomendasi 6 Film Horor Liburan Tragis Penuh Bencana Tak Terduga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU

[X]
×